Anna, aku mencintaimu. Kalimat itu menjadi penanda hubungan
kita berjalan hingga hari ini. genap satu tahun aku bersamanya. Melewati suka
dan duka dengan komitmen yang sama, yakni berusaha saling menjaga hubungan
sakral kita. Menerima apa yang tampak dan tidak tampak. Memahami sifat dan karakter
yang sering memicu perkara. Rasanya sedang menjalani adegan drama korea.
“Billy, minta tolong dong, buka pintunya. Ada tamu kayaknya,”
Anna teriak memanggilku yang sedang rebahan di pinggir kolam.
“Kamu sibuk apa? Aku lagi gak pakai baju nih,” jawabku.
“Kan buatin kamu sarapan. Ayolah sayang!” nada suaranya
lebih manis.
“Baiklah, aku jalan,” ucapku sepakat.
Sebelum beranjak, aku mengenakan kaos lebih dulu.
Ketika pintu ku buka, ternyata yang datang adalah Mamaku. Dia
menampilkan senyum terbaiknya. Tampaknya dia senang membuatku kaget.
“Mama sendirian?” selidikku sambil mengamati sekitar.
“Ya enggak dong. Masak tega orang tua dibiarin sendirian,” aku
dibuat kaget oleh Mama mertuaku.
“Mama boleh masuk gak?” ucapnya menggoda.
“Tentu saja,” jawabku.
Anna yang sedang masak tampaknya penasaran kegaduhan yang
terjadi. Dia pun kaget ketika tamu yang datang adalah mama kita berdua. Rencana
ini merupakan inisiatif Anna untuk memberi kejutan pada satu tahun pernikahan
kita. Pantas saja Anna selalu menolak ketika aku memiliki rencana untuk mengajaknya
liburan untuk memperingati satu tahun pernikahan kita. Alasannya, tak semua hal
harus dirayakan. Setiap hari baginya sudah spesial bersamaku. Sungguh romantis,
dan aku semakin bersyukur telah memilikinya. Dia sangat paham, aku kesulitan
untuk pulang ke Manado dengan pekerjaan yang padat.
“Jadi kamu sudah tahu kan, tamu kita pagi ini?” selidikku. Anna
hanya cengengesan. Ku cubit hidungnya dengan sengaja. Dia mengaduh kesakitan.
“Mana sarapan kita?” Mama menghentikan kemesraanku pada
Anna.
Aku segera menatap Anna. Dia tampak santai saja, padahal
yang tersaji hanya porsi berdua.
“Santai dong mukanya,” Anna menepuk mukaku.
Ia menarik tanganku untuk menuju ke dapur. Ternyata ia sudah
menyiapkan bubur Manado.
“sejak kapan kamu bisa masak ini?” bisikku.
“Jangan bawel! Ayo bantuin bawa ke depan,” perintahnya.
Aku menggelengkan kepala. Istriku ini memang pandai sekali
membuat kejutan.
Sambil menyiapkan di meja makan, aku memanggil semua
penghuni rumah ini. kebetulan sepupu dan keponakan kita sedang libur sekolah
dan kuliahnya.
“Mama, silakan pimpin doa!” Anna berbicara mantap.
Ku lihat Mamaku kaget. Ia menatap kami semua yang sudah
bersiap untuk sarapan.
“Ada yang keberatan?” Anna santai saja dengan keputusannya.
Kami saling tatap ragu untuk mengiyakan keputusan Anna.
“Dengar ya semuanya. Ini kan hari spesialku dengan Billy. Aku
ingin berterima kasih pada orang yang telah melahirkan Billy untuk jadi imamku.
Doa beliau lah yang ku harapkan untuk kelanggengan hubungan kita, gimana Bil?”
Anna melirik ke arahku.
Ku menatap Mama tampak terharu. Pupil matanya berair yang
berusaha ditahan untuk tidak menangis. Mama mertua merangkulkan tangannya ke
arah Mamaku. Suasana sarapan kami jadi penuh drama begini.
Maka pagi ini aku mendengar doa yang dulu sering aku lakukan
bersama keluargaku.
“Ya Bapa yang bertahta di
Kerajaan Surga, saat ini kami menghadap Engkau untuk bersyukur atas semua
makanan dan minuman yang ada di hadapan kami. Terima kasih ya Bapa, karena
berkat melimpah yang Engkau berikan pada kami. Biarlah makanan ini menjadi
energi positif kami dalam hari ini untuk melakukan kebenaran dan firmanMu. Biar
hanya Bapa saja yang senantiasa memberkati kami dengan makanan dan minuman yang
kami perlukan secukupnya setiap hari. Terima kasih ya Bapa, Halleluya, Amin”
Selesai berdoa, aku
menghampiri Mama. Aku merindukan pelukannya. Anna pun ikut menghambur. Jadilah kami
semua sarapan dengan air mata kebahagiaan.
Begitulah Anna, dia
selalu punya cara untuk menghargaiku, keluargaku, dan hal-hal yang berkaitan
denganku. Sederhana, tapi memiliki makna luar biasa. Jalan pikirannya jauh
melebihi batasan orang-orang umum. Ia berhasil membuatku bernostalgia dengan
kehidupanku bersama Mama.
Bagi Mama, ia tetap
memiliki kekhawatiran ketika aku memutuskan untuk pindah keyakinan. Bagaimana pun
kami tidak bisa lagi berangkat ke Gereja bareng. Dalam banyak hal, Mama juga tak
bisa lagi memberikan nasehat rohani kepadaku. Aku pun merasa jarak itu terasa,
karena kita memang beda iman. Tapi Anna berhasil membuat jarak itu hilang.
“Tak ada yang bisa merubah
hubungan anak dan mamanya,” ucap Anna padaku.
“Semakin kamu mencintaiku,
maka sebesar itu rasa sayang yang harus kamu berikan ke Mama,” lanjut Anna.
Aku mengeratkan pelukanku
padanya. Bagaimana dia bisa berfikir demikian? Batinku.
“Anak Mama memang hebat,”
aku dikagetkan dengan suara Mama mertuaku.
“Masih siang udah
mesra-mesaran nih,” Mama mertua menggoda kita. Aku dan Anna tertawa.
“Eh ternyata di sini,
Mama cari pada kemana,” Mamaku muncul.
“Oh iya, Mama mau gereja
ya?” tanya Anna. Ia mengangguk.
Kami pun memutuskan untuk
mengantar Mama ke Gereja. Sekaligus mengajaknya jalan-jalan menikmati malam di
Jakarta.
Anna meminta kami untuk
menunggu di ruang tengah, karena dia ingin berganti pakaian. Sempat aku cegah
karena pakaian yang dikenakan sudah layak untuk dipakai. Tapi ia bersikeras
untuk ganti pakaian.
Sambil menunggu Anna
keluar kamar, aku menghubungi Papa apakah bisa bergabung dengan kita. Mama
mertua bilang, Papa sedang mengisi pengajian di Banten. Namun setelah ku
hubungi ternyata Papa mengusahakan untuk bisa bergabung.
Aku lalu mengetuk pintu
kamar sepupu dan ponakan, siapa tahu mereka ingin bergabung. Kebetulan ada dua
mobil yang muat untuk keluarga kita. Setelah ku pastikan, ternyata mereka
antusias.
Aku pun kembali ke ruang
tengah bergabung dengan kedua Mama ku. Ku dengarkan berbagai cerita yang keluar
dari bibirnya. Rasanya senang melihat keakraban Mama mertua dan Mamaku. Mereka tak
ada rasa canggung.
“Oke siap, ayo berangkat!”
Anna menghentikan obrolan kami.
Spontan aku kaget melihat
penampilan Anna kali ini. Aku yakin kedua Mama ku juga kaget dengan pemandangan
ini. aku mengerjapkan mata berulang.
“Kok pada diam sih, nanti
telat loh,” Anna mencoba mengurai kekagetan kita.
“Gimana Bil? Aku cantik
kan?” Anna mendekatiku.
“Maksudnya apa ini?” aku
berbisik ke arahnya. Anna tak langsung menjawab. Ia berjalan ke Sofa lalu
memutuskan untuk duduk bersebelahan dengan Mamaku.
“Bil, aku sudah lama
memikirkan hal ini. Khususnya semenjak kamu belain resign dari kerjaan kamu demi
membelaku. Ada banyak hal yang kemudian ku pikirkan, termasuk apa salahnya aku
mengenakan ini. aku punya dua Mama hebat, dengan pilihan hidupnya
masing-masing. Sebagai seorang Mama, mereka berdua memiliki hati besar untuk
merestui pernikahan kita. Aku yakin, dalam pikiran Mama mu, dia tak pernah
membayangkan memiliki menantu kayak aku. Begitu pun dengan Mama ku, bisa jadi
menantunya di luar dari harapan dia. Kita pernah berjuang bareng untuk
mempertahankan ini. Kamu, sudah berjuang banyak untuk menjaga martabatku. Maka hari
ini izinkan aku menjaga martabatku dengan pilihan yang baru, yakni dengan
berjilbab. Boleh kan?” ucap Anna.
Aku tak bisa lagi
membantah. Aku pernah memimpikan ini terjadi, tapi sekali pun tak pernah membahasnya
dengan Anna. Karena aku tahu, masalah iman, setiap orang memiliki prosesnya
masing-masing. Apabila dengan mengenakan jilbab menjadi cara untuk menjaga
kehormatan, maka aku mendukungnya.
Tanpa berjilbab, Anna bagiku
sudah menjadi istri yang salehah, anak yang berbakti, dan seorang hamba yang mengamalkan
banyak ajaran agama. Jika akhirnya dengan berjilbab menjadi satu poin lagi untuk
disebut sebagai menutup aurat, maka semogalah itu ibadah yang diridhai-Nya.
“Kita tak pernah tahu Bil,
amalan apa yang menjadi alasan kita masuk Surga atau Neraka. Tapi satu hal yang
aku imani, Tuhan sayang pada semua ciptaannya tanpa terkecuali. Maka tak ada
yang lebih baik atau diterima, karena selama masih hidup, artinya selalu ada kesempatan
untuk menuju jalan yang diridhai-Nya” ucap Anna.
“Kamu benar Ann. Urusan dengan
Allah itu bukan soal seberapa tertutup tubuh seseorang, melainkan ketaatan
menjaga kehormatan. Maka Jilbab menjadi tidak wajib, kalau esensi menutup aurat
tidak terpenuhi bagi Muslimah,” timpalku. Anna mengangguk.
Percayalah, ketaatanmu
menutup aurat itulah kewajiban, Jilbabmu hanya bungkus kepala. Bisa dilakukan
siapa pun, bahkan oleh mereka yang tidak mengenal Allah.
Komentar
Posting Komentar