Canda
tawa menggema. Mengisi ruang dan waktu selama dua tahun saling mengenal. Aku
bahagia bersamamu, mengenalmu, dan berkarya dalam komunitas yang sama.
Tidak satu atau dua orang yang coba mengarahkan rasa nyaman menjadi sayang. Tapi
tanpa ada jeda untuk berfikir, kita mudah sekali mengatakan bahwa kita sebatas
teman. Aku rasa itu benar, kita tak pernah memiliki ikrar apa pun untuk apa
yang mereka pikirkan. Kita tak pernah punya bahasa “sayang, mimpi indah ya”
untuk menutup malam. Tapi hari ini lain, rekan. Berawal dari rumah Hanis,
persiapan pernikahan yang berhasil menyingkap rasa yang selama ini terkubur
oleh ikatan pertemanan. Ada semacam sandi morse kalau dalam pramuka, aku dan
dia perlu menyandingkan titik dan garis supaya ada makna.
Glek..
ku parkirkan motorku tepat di rumah Hanis. Berjejer juga motor lain. tampaknya
teman-temanku sudah datang lebih dulu.
Belum
sempat mengambil kunci motorku, terdengar suara kendaraan lain baru saja
mematikan mesin. Hanis keluar rumah sambil berseloroh “Wah, kalian kok bisa
barengan gini datangnya?” ucapnya. Aku langsung membalikkan badan, ternyata di
sebelahku ada Arum, teman akrabku. Aku menertawakan momen ini. Bagaimana bisa
hal ini menjadi kebetulan?
“Kenapa
ketawa?” Arum malah menanggapi dengan muka polosnya. Tak ada sedikitpun
kepekaan bahwa dia menjadi bahan candaan Hanis dan rekan-rekan lainnya.
“Sudahlah
Zrul. Ayo masuk, cewekmu ini memang gak peka” ucap Hanis berlagak hendak
menggandeng tanganku, dengan tingkah dibuat centil sambil mengibaskan kerudung
segi empatnya.
“Cewek
gundulmu..” Arum mengejar Hanis yang berhasil dicubitnya tepat di pinggang.
Aku
malah senang untuk menanggapi candaan tersebut. “Ayo dik, sini bareng akang,”
ucapku mendekat ke Arum.
“Hei,
mau apa? Kasih uang belanja dulu baru gandengan tangan,” Arum memasang wajah
galak.
“Duh,
Bund. Ayah lupa bawa dompet. Piye iki?” Aku menimpali drama yang diciptakan.
Wajah
Arum yang terlihat konyol justru membuatku tak bisa bisa menahan tawa. “Koplak kamu dik. Ayo ah,
masuk!” ajakku. Hanis malah asik ngomong cie..cie.. ku gelengkan saja kepala
menanggapi aksinya.
Aku
dan Arum memang selalu kompak untuk membuat suasana komunitas jadi ramai dan
hidup. Hanis salah satu yang paling senang kalau aku dan Arum sudah mulai
memainkan drama jadi pasangan. Anak-anak yang lain terkadang ikut menjadi
figuran. Di mana pun tempat kami berkumpul, tak terlewatkan topik yang kami
ciptakan. Bahkan sekarang di rumah Hanis, sang calon pengantin. Kita sengaja
datang untuk membantunya mempersiapkan apa pun yang dibutuhkan dalam prosesi
pernikahan.
Hanis,
Arum, dan Fatim merangkai ornament yang siap dipasang di dinding rumah. Sedangkan
aku, Zamroni dan Farhan ikut membantu orangtuanya Hanis menata letak kursi dan
meja. Teman-teman yang lain pun sibuk dengan tugas masing-masing, termasuk
menyiapkan standing banner yang nantinya dipasang di pintu masuk.
Aku
datang mendekati Arum. “Dik, coba kamu pakai ini?” tanpa izin aku sudah
menempatkan mahkota di kepala Arum. Arum pun langsung paham arahnya. Lalu dia mengambil
sebuah kain panjang untuk dikaitkan ke badanku membentuk pola pakaian bangsawan. "Kalau Aku jadi ratu, maka kamu
jadi pengeran ya kang,” ucap arum semanis mungkin.
Hanis
langsung heboh. Dia berkutat dengan ponselnya untuk menyiapkan aplikasi kamera.
“Eh kalian sini sebentar, ayo foto bareng ratu dan pangeran,” ucap Hanis.
Gilanya, anak-anak kompak berhamburan meninggalkan tugas-tugasnya demi drama
yang kami mainkan. Bapak dan ibunya Hanis tertawa menyaksikan kekonyolan kami.
Aku
bahagia, ku lihat Arum pun menikmati apa saja yang terjadi. Aku tak pernah
berfikir bahwa ini sungguh serius. Tapi tiba-tiba Zamroni menepuk pundakku dan
Pundak Arum.
“Eh
aku mau ngomong serius ya,” Dia memberi jeda kalimatnya hingga kami semua fokus
memandangnya.
“Apa
iya, di antara kalian tidak ada rasa yang lebih dari sekadar teman?” ucapnya.
Hatiku langsung ‘deg’ mendengar ucapan Zamroni. Teman cowokku ini termasuk yang
tak pernah komentar tentang hubunganku dengan Arum. Tentu ucapan itu menjadi
aneh di dengar. Selepas dia mengungkapkan itu, anak-anak pun tampak berfikir
setuju. Terutama Hanis.
“Duh..
benar yang dibilang Zamroni. Aku loh Zrul, kok ngerasa kamu sama Arum itu
saling suka. Tapi piye yoh, kayaknya kalian itu gak menyadari karena wes nyaman
jadi teman. Hati-hati loh ya,” Hanis mempertegas.
Seketika
ku lihat wajah Arum tersipu malu. Tatapan matanya ke arahku pun tampak
canggung. Aku sulit memaknai apa yang terjadi barusan.
“Eh
sudah-sudah! Ayo kembali ke tugas masing-masing,” Zamroni menetralisir keadaan.
Akhirnya semua orang kembali pada aktivitasknya. Hingga kami pulang, tak ada
hal baru yang bisa diceritakan.
Sampai
di rumah, pikiranku gelisah. Ibu berkali-kali menegurku karena diajak ngobrol
tak respon. Karena kesal aku acuhkan pembicaraannya, ibu akhirnya meninggalkanku
sendirian yang duduk di teras rumah. Ku nyalakan rokok sebagai penawar stress. Kendaraan
yang silih berganti melewati depan rumah tak ubahnya memori yang mengantarkanku
pada dua tahun perkenalanku dengan Arum.
Arum
anaknya memang humoris. Di sisi lain, ia memiliki kecerdasan berfikir yang beda
dengan lainnya. Ada saja ide cemerlang yang sering menjadi titik terang bagi
masalah yang dihadapi komunitas. Kalau soal penampilan, dia seperti cewek pada
umumnya. Tidak menonjol, tapi juga tidak di bawah rata-rata. Tingkahnya yang
asik membuatku betah bareng dia. Hal
yang terpenting, jangan khawatir tak ada bahan obrolan, karena dia pandai
memunculkan topik yang renyah.
Lalu,
semua hal yang ku pikirkan itu kenapa tidak membuatku berfikir untuk bersama
dalam ikatan yang spesial? Mungkin itu pertanyaan yang ingin kalian katakan
padaku. Hem… baiklah. Ada satu hal yang perlu diketahui. Arum sudah dijodohkan
oleh orangtuanya dengan seorang cowok yang ku kenal anaknya baik. Hal itulah
bisa jadi salah satu alasan kenapa aku tak memikirkan kenyamanan yang selama
ini terbangun di antara kita untuk lebih dari sekadar teman.
Sekarang?
aku bingung memaknainya. Tiba-tiba ada hal yang mengusik perasaan. Hingga malam
tiba aku susah tidur. Beberapa notifikasi pesan di whatsapp hanya ku lirik saja
di tampilan ponselku. Rasanya malas membaca isi grup yang bergulir tak henti.
Mengusir kebosanan, aku mengambil headset untuk mendengarkan lagu yang ku suka.
Namun belum separuh lagu ku dengar, ada notifikasi dari Arum.
“Malam
Kang…” tulisnya jelas.
“Malam
dik…” jawabku.
Lama
pesanku tak dijawab lagi walaupun sudah centang biru. Aku jadi berfikir bahwa
ada yang mengganjal di antara kami. Tidak biasanya obrolan kami jadi kaku
seperti sekarang. Aku jadi bingung mau menulis pesan apalagi. Namun Arum
mengirimkan pesan lebih dulu.
“Kang..”
tulisnya.
“Dalem….”
Balasku singkat
“Lagi
apa?” lanjutku.
“Lagi
santai..” jawabnya datar lagi.
Astaghfirullah.
Ini ada apa ya? Aku semakin yakin bahwa dia pasti menyimpan sesuatu.
Jangan-jangan dia memikirkan hal yang ku pikirkan juga.
“Belum
ngantuk kang?” dikirimnya pesan lagi.
“Lagi
kepikiran kamu, dik,” balasku.
Deg...hatiku seperkian detik rasanya berhenti. Tanganku bergetar, rasanya sudah tidak
sanggup membendung rasa yang membuncah. Keberanian apa yang membuatku akhirnya
menuliskan kalimat itu. Segera aku menghapus pesan itu.
“Kenapa
dihapus kang? Adik juga kepikiran kamu,” balasan itu membuatku semakin panas
dingin. Perasaan bahagia dan khawatir datang secara bersamaan. Namun kami sudah
tidak bisa mengelak lagi. Kenyataannya kami saling menyayangi.
Kami
akhirnya sama-sama mengakui bahwa ada rasa sayang yang lebih dari sekadar
teman. Aku tak peduli lagi dengan status dia yang sudah dijodohkan oleh
orangtaunya. Kata pepatah kan sebelum janur kuning melengkung semua bisa
terjadi ya? Aku pun tidak melanggar aturan agama karena antara Arum dan cowok itu
belum resmi dalam ikatan pertunangan. Aku berhak dong menjalani hubungan dengan
orang yang sama-sama sayang? Begitulah pikiran nakalku.
Hubunganku
dengan Arum pun berjalan dalam ikatan pacaran. Banyak hal yang berbeda
ternyata. Kalau biasanya kami lebih santai bercanda, berganti dengan kata-kata
rayuan. Perhatian yang selama ini sudah biasa kami lakukan, berganti dengan
bumbu-bumbu saling cemburu. Rasanya aneh, tapi begitulah perasaan. Aku jadi
ingin terus menjaganya, mengantarnya ke mana pun ia ingin pergi.
Kegiatan
komunitas yang padat memberi peluang kami untuk bisa ketemu lebih sering. Ada
alasan aku menjemputnya. Selesai acara kami gunakan waktu untuk minum es buah,
makan bakso, atau sekadar bersantai di alun-alun kota. Terkadang kami bebas
mengomentari apa pun yang dilakukan orang yang lalu-lalang di sepanjang jalan.
Kami memang suka tidak jelas kalau membicarakan apa pun. Tapi memang hebatnya Arum pandai membuka topik pembicaraan. Aku jadi membayangkan kalau dia jadi
istriku, rumah pasti tidak akan sepi. Namun harapan itu tampaknya tak akan jadi
kenyataan, di minggu ketiga kami bersama ketika aku mengantarnya pulang ke
rumah. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah novel remaja.
“Ini
buku buat adikmu ya. Titip kasih ke dia,” ucapnya ketika baru saja turun dari
motornya.
“Kenapa
tadi gak kamu kasih pas di rumahku?” komentarku.
Wajahnya
berbeda. Ia seperti menyembunyikan sesuatu. Tampak sekali dia menghindari
tatapanku. Gugup, aku bisa melihatnya.
“Dik.
Semuanya baik-baik saja kan?” tanyaku.
“Kang.
Aku sangat menyayangimu. Kamu hati-hati yang dijalan! Assalamualaikum,” ucapnya
langsung masuk ke rumah.
Dia
pergi tanpa sempat aku membalas salamnya. Aku masih heran apa yang terjadi.
Namun aku mulai curiga dengan buku yang diberikan padaku. Jangan-jangan ada
sesuatu yang diselipkan di dalamnya. Entahlah perasaanku kuat tentang hal itu.
Ku
buka lembar demi lembar buku yang diberikan padaku. Tak sampai lama ku buka,
ada secarik kertas yang berisikan tulisan.
Aku
mengenalmu dengan hati, bukan dengan mata.
Aku
menginginkanmu dari jiwa, bukan dari raga.
Aku
menyanjungmu dengan perasaan, bukan dengan ucapan.
Aku
merindukanmu dari pikiran, bukan dari khayalan.
Ku
tulis namamu di atas pasir, tapi ombak datang menghapusnya.
Ku
tulis namamu di balik awan, tapi angin datang membawanya pergi.
Lalu…
Ku
tulis namamu di hatiku, karena aku tahu;
Di
sini lah namamu kan abadi dan takkan terhapus.
Untuk
selamanya dalam hatiku.
By:
Orang
lain yang tak menjadi lain
AFR
Usai
membaca tulisan itu tubuhku lemas. Satu hal yang ku sadari kemudian:
“Tuhan
membolehkan kita mencintai siapa pun, tapi memilikinya adalah urusan yang
berbeda. Berani jujur dengan perasaan dan menjalaninya sebagai bagian dari
potongan perjalanan hidup adalah bukti aku bisa. Sedangkan siap untuk tidak
menjadi bagian dari hidup orang yang ku cintai adalah bukti aku iman dengan
takdir-Nya. Terima kasih Tuhan atas kesempatanku mengenalnya walau sesaat.”
Begitulah
hidup, rekan. Kita tak pernah tahu bagaimana akhir dari segalanya. Hari ini
kita tertawa bareng, esok bisa jadi kita tak akan pernah ketemu lagi. Semua
serba misteri dan mengejutkan. Satu hal yang ku pesankan ke kalian, jangan
pernah menyesali apa pun yang pernah terjadi. Hal buruk perlu kita perbaiki.
Hal baik perlu kita tingkatkan. Tak ada yang lebih beruntung atau malang, semua
berjalan dalam kehendak-Nya. Mari tetap berdamai dengan hati kita.
Arum
akan menikah dengan cowok pilihan orangtuanya. Aku? Biarlah waktu nanti yang
mempertemukanku dengan orang yang dikehendaki-Nya.
Terima
kasih sudah membaca kisah ini. Semoga membantu jiwa-jiwa yang sedang rapuh
menjadi bangkit dan melangkah lagi.
Aku
punya hatimu, tapi bukan ragamu Rum. Izinkan aku mengucapkan I Love You..
Komentar
Posting Komentar