Aku baru saja turun dari
gerbong kereta api. Ini perjalanan pertamaku sendirian ke Tegal menggunakan
kereta api. Ternyata tidak semenakutkan apa yang ku bayangkan. Bahkan pelayanan
di kereta api tidak kalah dari pesawat terbang.
Di pintu keluar,
pandanganku memutar ke kiri dan kanan, mencari orang yang dijanjikan Desi untuk
menjemputku. Tak lama ada seorang lelaki muda menghampiriku.
“Mbak Dewi ya?” ucapnya.
Aku mengangguk. Ternyata dia
Rohman, masih sepupunya Desi. Batinku, tampan juga.
Rohman orangnya sangat
asik. Perjalanan yang aku akan tempuh setengah jam tampaknya tak akan terasa. Hampir
sempat aku menaruh hati padanya, ternyata dia sudah punya istri. Astgahfirullah..
bagaimana bisa aku naksir suami orang.
Benar saja, Rohman
bercerita banyak hal tentang lika liku mendapatkan istrinya yang merupakan anak
dari Kiai kampung yang sangat dihormati di tempatnya. Istilah Rohman, menyebut
istrinya adalah “Neng” panggilan untuk anak kiyai. Apabila mengingat indahnya
perjuangan mencintai dan mendapatkan cinta seorang “Neng”, tentu sangat
membanggakan. Ternyata ketika menikah, Rohman menemukan banyak hal yang tak
seindah itu. Status sosial yang berbeda jauh, membuat Rohman dan keluarga
banyak mendapat pandangan sinis dari orang lain. sempat Rohman frustasi dengan
kondisi itu. Tapi bagi Rohman, ia telah memilih jalan ini, berpisah bukan
pilihan yang baik walau diizinkan Tuhan.
“Gak ada yang sempurna
mbak di dunia ini, gak bakal ketemu apabila terus-terusan menuruti kenyamanan,
makanya orang-orang kota mudah sekali cerai,” ucap Rohman menohok.
“Lalu apa dong kalau
bukan nyari kenyamanan?” kulikku tertarik membahasnya.
“Kembalikan itu pada
Allah mbak, kan Dia yang mengatur semua hal, termasuk tuh, Bajing (Tupai) yang
makan mangga,” ucapnya sambil menunjuk ke luar.
Seketika aku mengingat
hal yang sudah ku alami beberapa hari yang lalu.
****
Ku ikat rambutku yang
sejak tadi menganggu pandangan. Aku berjalan cepat mengejar keterlambatan
memenuhi janji dengan seseorang. Rasanya berat sekali aku menemuinya, tapi aku
harus lakukan. Bahkan kata-kata yang sudah ku siapkan tadi sebelum berangkat,
kini rasanya kosong. Padahal langkah tak mungkin berjalan mundur. Dan akhirnya
jarak antara aku dan dia semakin jelas terlihat. Dia menatapku dengan senyuman
yang tampak dipaksakan.
Usai memesan segelas Manggo
Passion Fruit, aku menghampirinya. Aku tak mampu lagi basa-basi.
“Daf.. kamu tahu tujuan
perkenalan kita?” tanyaku.
“Minum dulu lah..” dia
berusaha menghindari pertanyaanku.
“Daffin, kamu gak bisa
begini terus. Aku capek!” keluhku.
Daffin lalu membenarkan
kacamatanya. Ia menunduk lama dan menahan nafas dalam. Setelah itu dia baru berani
menatapku.
“Dew… aku ingin serius
sama kamu” ucapnya.
“Serius seperti apa?” tanyaku.
“Ya, aku ingin menikahimu.
Aku kan pernah bilang Feburari tahun depan ingin menikah,” ucapnya.
“I see. Terus apa yang
sudah kamu siapkan untuk pernikahanmu?” kulikku.
“Aku gak tahu apa yang
perlu disiapkan. Memangnya pernikahan itu harus menyiapkan apa?” ucapnya tanpa
berdosa.
Astaga, dalam hati aku
terperangah. Detik itu juga aku meyakinkan diri bahwa dia bukan pilihan yang
tepat.
“Kamu cari tahu dulu apa
itu pernikahan, baru hubungi aku lagi. Eh, Sorry. Untuk beberapa hari mungkin
aku akan sulit dihubungi. Assalamualaikum…” ucapku tanpa menunggu balasannya. Ku
bawa minuman yang belum sempat aku minum.
Keluar dari tempat yang
mendebarkan, perasaanku lega. Aku tak lagi berat melangkah. Rasanya tak ada lagi
rantai yang mengikat kakiku. Aku cepat sekali sampai di MRT Senayan. Ku buka
ponselku mengirimkan pesan ke seseorang.
“Jaka.. kamu sudah pulang
kerja?” pesan terkirim.
“Ini lagi persiapan. Ada apa
Dew?” balasnya.
“Please! Aku pengen
ketemu, bisa ya?” pesan terkirim.
Jaka pun mengabulkan
permintaanku. Tampaknya Cuma Jaka yang mengerti kondisiku. Lama aku tak
menghubunginya lagi, berbagai kesibukan di antara kami membuat waktu luang
semakin susah. Atau jangan-jangan selama ini aku yang terlalu sibuk dengan petualangan
mencari pasangan.
Menunggu setengah jam,
Jaka akhirnya sampai. Dia yang memutuskan lokasi di daerah Menteng. Ada sebuah
kedai kopi yang menurutnya nyaman untuk ngobrol. Dan benar saja, aku merasa lebih
tenang dibandingkan tadi.
“Agak putihan ya kamu
sekarang?” godaku.
“Wah skincare nya
cocok ya say...” ucapnya dibuat semanis mungkin.
Aku spontan tertawa
riang. Celetukan Jaka ini yang terkadang membuatku lupa kalau banyak beban
hidup yang menggelayut dalam kepala.
“Kamu sadar gak Jak?” ku
masih ingin menggodanya.
“Sadar kok. Kamu setelah
tiga bulan gak hubungi aku, dan hubungi lagi pasti mau curhat kan?” tebaknya
yang menohok. Aku jadi terbawa perasaan.
“Hei. Serius banget. Bercanda
Dew. I see, terkadang kita butuh waktu jeda untuk kemudian kita mengerti
rasanya kangen. “ ucapnya mengerlingkan mata.
“Maksud lo……” aku
menjitak kepalanya.
Begitulah menu pembuka
pertemuan kita kembali. Benar saja, tujuanku menemui Jaka adalah ingin menceritakan
kegundahan hati tentang perjalanan asmara yang selalu kandas. Kenapa aku bilang
selalu? Untuk orang yang aku ceritakan ke Jaka saja, sudah lebih dari 10 orang
dan itu dalam periode 1 tahun. Buat kalian para perempuan cantik yang selalu dicap
pilih-pilih, katakan pada cowok, memang untuk urusan bersama seseorang seumur
hidup itu tidak bisa main-main. Kan kita akan melewati banyak hal seumur hidup
bersama dia kan?
Baiklah, kembali ke meja
obrolanku dengan Jaka. Aku telah menceritakan kembali siapa sosok Daffin. Jaka
pun tampaknya mulai memenukan ide untukku.
“Dew. Banyak hal yang
kadang kita tidak mengerti apa yang sudah Tuhan rencanakan, termasuk
pertemuanmu dengan Daffin. Apalagi itu sepupumu sendiri yang mengenalkan. Harusnya
dia sudah tahu dong resiko mengenalkan sosok lelaki yang religius. Artinya, berhenti
minta kenalan-kenalan dari siapa pun, termasuk aku.” Ucapnya.
“Pastinya lah Jak. Bukannya
jadi pacar aku, malah kamu embat.” Komentarku.
“Heh, mulut gak sekolah tuh.
Ngomong asal saja,” sela Jaka sambil melemparkan gulungan tisu ke wajahku. Untung
saja aku masih bisa mengelak.
“I have opinion
ini ya, kalau mau dengar ya syukur,” Jaka mulai serius.
“Cepat katakan!!” ucapku
tak sabar.
“Kamu masih punya jatah
cuti berapa hari, coba deh dibuat untuk solo trip. Terkadang, perjalanan lah
yang mampu membuka semua hal, mengenal diri lebih baik, dan melihat sesuatu lebih
jernih. Akan ada momen dalam perjalanan itu kamu akan menarik mundur semua hal
yang sudah kamu lakukan, termasuk kenapa selama ini selalu gagal menjalin
hubungan. Ya selain itu, siapa tahu di jalan ada yang ngajak kenalan kan bonus,”
usul Jaka.
****
“Mbak Dewi… ayo turun
sudah sampai,” ucap Rohman menyadarkan lamunanku.
Aku menatapnya dengan
perasaan terima kasih. Baru saja aku melakukan perjalanan sudah dapat pelajaran
penting. Belum lagi kalau aku melihat cerita teman kuliahku, Desi. Dia memutuskan
tinggal di Tegal demi ikut suaminya yang berbisnis telur asin. Padahal di
kampus dia sering mendapat kesempatan keluar negeri untuk konferensi. Aku yakin
ada banyak hal yang belum ia ceritakan tentang pilihan tersebut. Jaka benar,
melakukan solo trip akan leluasa membuat pikiran kita terbuka dengan sendirinya
tanpa diminta.
Desi menggendong anaknya
menyapaku. Aku dibuat tertegun, kecantikannya yang dulu seketika sirna dari
pandanganku. Dia memang memutuskan tidak aktif di media sosial. Bagaimana dia
bisa hidup dengan sedemikian sederhana?
Aku pun segera menyadari,
kenyamanan adalah bahasa semu yang tak akan mampu dikejar. Kita bisa bilang siang
hari itu cerah, tapi orang lain bisa mengatakan senja amat mempesona, dan malam
begitu gemerlap. Definisinya tak pernah mutlak, melainkan penerimaan hatilah
yang membuat definisi itu ada.
Kalau kata Sandra Dewi dalam wawancaranya dengan Melaney Ricardo menyebut: It’s Okey to be not
perfect.
Komentar
Posting Komentar