Kadang, penantian tak perlu dinanti, justru takdirlah yang mempertemukan seseorang yang lama tidak berjumpa, seperti hari ini antara Elang dan Pipit. Memang, pertemuan mereka terjadi bukan secara tiba-tiba, melainkan sebuah pekerjaan. Lima
tahun tampaknya jeda yang cukup bagi mereka. Pipit yang lebih dulu bisa melihat bahwa kontak
Whatsapp yang akan ditemuinya adalah Elang, orang yang pernah dikenal
sebelumnya, ia sedikit ada rasa gugup. Sedangkan Elang baru bisa melihat ketika pertemuan terjadi, ia kaget. Akan tetapi, ia berusaha mengendalikan situasi.
“Hai,
Ibu Pit. Terima kasih atas kesempatannya bertemu,” begitulah ucapan Elang berusaha
tetap professional. Ini urusan pekerjaan, bukan sedang reuni.
Pipit
tidak sendirian. perempuan tersebut ditemani stafnya, namanya Diana. Bukan
karena Pipit takut bertemu Elang sendirian, melainkan memang setelah pertemuan
ini mereka akan menghadap ke lembaga pemerintahan untuk menggarap sebuah
kegiatan nasional.
Pelayan
kafe sigap menghampiri mereka. Melayani pesanan yang sudah siap dihidangkan. Elang
memesan secangkir kopi, sedangkan Pipit memesan es cokelat. Minuman itu mewakili
perasaan masing-masing. Elang berharap hangatnya kopi mampu menghangatkan
pertemuan ini. Sedangkan Pipit dengan es cokelatnya berharap gugup dan stress
yang dialaminya mampu sedikit redam. Sebenarnya, Elang menyadari kegugupan
Pipit. tapi ia tak mau membuatnya semakin gugup dengan banyak bertanya. itu pun
sangat gugup. Hanya saja ia bisa menguasai diri, lebih tepatnya ia pandai
menyembunyikan perasaan.
Obrolan
keduanya sedang berjalan. Saling lempar pertanyaan dan informasi mewarnai
diskusi siang ini. Namun ketika Pipit sedang menjelaskan panjang lebar,
tampaknya Elang terpesona dengan gaya Pipit yang dilihatnya lebih cantik dari
lima tahun silam. Sejak dulu, Pipit memang tampil sederhana, tapi tak bisa
menutupi aura kecerdasan yang membuat siapa pun minder di dekatnya.
“Pak
Elang…Pak…Hallo…” Pipit menyadari bahwa omongannya tampaknya kurang
diperhatikan.
“Oh
maaf.. iya bu. Bagaimana?” Elang bangun dari melamunnya.
Pipit
menghela nafas panjang. Ia harus bersabar menghadapi situasi yang kurang nyaman
ini.
“Perlu
saya ulang lagi?” Pipit mencoba menawarkan.
“Tidak
perlu. Secara garis besar saya cukup memahami. Nanti kita bisa komunikasi lewat
email kalau ada yang kurang saya mengerti,” Elang memahami bahwa suasana hati
Pipit kurang baik.
Baiklah.
Pipit mengakhiri obrolannya. Ia meminta bil pada pelayan kafe.
“Eh
tunggu. Biar nanti saya saja yang bayar,” ucap Elang mendapat tatapan dari
Pipit.
Elang
memalingkan wajahnya ke asisten Pipit.
“Bu
Diana, bisa izinkan kami ngobrol berdua?” Elang menunjuk dirinya dan Pipit.
Diana merespon sopan tanpa ada prasangka apa pun. Pipit pun tak mencegahnya
pergi.
Elang
tetap berusaha menguasai keadaan, sedangkan Pipit lebih terlihat gugup.
“Jadi,
bisakah kita ngobrol sebagai orang yang pernah kenal?” Elang membuka obrolan.
“tentu…”
jawab Pipit singkat. Ia tak berani menatap wajah Elang.
“Aku
percaya ini bukan sebuah kebetulan. Ini rencana Tuhan mempertemukan kita. Kamu
tak ingin mengatakan sesuatu setelah lima tahun menghilang?” Elang mencoba
mengulik sebuah rahasia.
Pipit
membenarkan posisi rambutnya yang menutupi wajahnya. Ia sekali lagi tak berani
menatap Elang. Posisi duduknya dibuat senyaman mungkin dengan kaki menyilang,
tapi tetap saja gagal.
“Banyak
hal di dunia ini yang terkadang tanpa ada perlu penjelasan. Setiap ada ucapan
selamat datang, selalu berujung selamat jalan, atau sampai jumpa lagi. Ya,
beginilah kita. Apa yang perlu dijelaskan? Beruntungnya kita berjumpa lagi. Hal
yang biasa bukan?” Pipit mengulur waktu untuk menjawab apa yang Elang inginkan.
Hal tersebut membuat Elang kesal.
Elang
tentu tidak berharap dengan kalimat basa-basi yang memperlambat inti obrolan.
Tapi dia juga tak ingin tergesa-gesa hanya untuk akhirnya akan kehilangan Pipit
lagi.
“Baiklah.
Semoga perjumpaan kita lagi ini tidak hanya sebagai rekan kerja. Tapi bisa
lebih santai, teman liburan, nonton, atau ke toko buku. Bagaimana?” ucap Elang.
“Kita
lihat nanti. Saya bisa permisi Bapak Elang?” Pipit kali ini memberanikan diri
menatap wajah Elang. Hal yang kemudian disadarinya bahwa mata lelaki itu masih
sama seperti lima tahun lalu, misterius, susah ditebak.
Elang
tak langsung menjawab, membuat Pipit akhirnya memutuskan pergi begitu saja.
Langkahnya cepat meninggalkan café yang menjadi tempat awal pertemuan mereka
kembali. Sekejap Pipit sudah hilang dari pandangan Elang.
Pulang
kerja, Elang menatap lama dirinya di cermin. Ia melihat dirinya sendiri seakan
ingin menilai kelebihan apa yang dia miliki. Ganteng? Iya, harus diakuinya
banyak perempuan yang suka. Pintar? Ah biasa saja, bisa dikatakan kecerdasan
yang rata-rata. Memiliki pesona? Itulah yang dia ragukan, dia tipe lelaki yang
tidak banci tampil di media sosial atau ruang publik. Sehingga jarang ia
menerima pujian-pujian dari bucin. Bahkan ia kerap dicibir oleh sanak
saudaranya sebagai lelaki tampan yang ‘bosenin’.
Boleh
lah orang menilai apa tentang dirinya. Tapi tatapan Pipit seakan membuat Elang
berfikir ulang tentang dirinya. Elang tak pernah terfikirkan untuk hal yang
baru saja ia lihat. Dirinya merasa sama sekali tak pantas apabila tebakannya
itu benar. Selama pertemanan mereka, tak ada gelagat yang berbeda dari Pipit.
Tapi hari ini dia sungguh mulai mengurai benang kusut yang ada di pikirannya.
Ada titik terang dari kepergian Pipit yang tanpa pamit. Bolehkah Elang
mendefinisikan bahwa Pipit jatuh cinta padanya?
Jangan
percaya diri dulu. Pipit malam ini sedang bahagia karena proyek yang
ditanganinya disetujui dan mendapat pujian dari Manajernya. Bahkan ia besoknya
diminta menghadap Direktur untuk membicarakan proyek pertamanya yang terbilang
nilai rupiahnya fantastis. Sehingga Pipit tidak makan malam di rumah, tapi
mengajak ayahnya pergi ke restaurant Jepang di daerah Kemang. Ingatan tentang
pertemuan dengan Elang tampaknya tertutupi dengan segala kegembiraan itu. Bisa
jadi, ia pun tak ingin mengingat hal apa pun tentang pertemuan itu.
Kini,
malam memberikan definisinya yang menyebar di ribuan bintang yang ada di
langit. Elang dengan pikirannya dan Pipit dengan keintimannya dengan sang ayah.
Bisa jadi, jauh dari hiruk pikuk kota, orang-orang sudah tidur nyenyak dengan
mimpi. Bersiap untuk menyambut esok hari yang lebih baik dari hari ini.
“Selamat
malam Pit. Terima kasih atas pertemuan hari ini. Aku bahagia, semoga kamu pun
bahagia,” di sela ia menyumpit irisan ikan salmon, ada notifikasi pesan di
ponsel Pit dari Elang. Ia mengintip dari beranda layar depan ponselnya. Tak
segera ia buka, tapi wajahnya merona bahagia.
Yeah,
Lang. kamu berhasil melengkapi bahagianya Pit.
Bersambung…..
Komentar
Posting Komentar