Lima
tahun silam..
Elang
melihat jam digital di tangannya. Raut wajahnya gelisah. Kemacetan di depan
tampaknya sulit terurai. Ia mulai menyesali sesuatu. Harusnya ia tadi tidak
mengendarai mobil menuju kampus. Ia lupa kalau hari ini adalah hari sabtu. Jalanan
Depok arah ke Jakarta di jam menjelang siang sangatlah padat. Sedangkan ia
hanya punya waktu 10 menit untuk bertemu dosen pembimbingnya, Ibu Hamidah. Ia tak
terbayang mendapat omelan karena telat. Sejauh ini bimbingan dengan Ibu Hamidah
selalu tepat waktu.
Di
kampus, perempuan bertubuh mungil sudah duduk menunggu sang dosen. Ia mengenakan
setelan baju putih dan rok sebatas lutut dengan wedges warna silver. Ia membuka
file skripsi yang siap ditunjukkan ke pembimbing. Ia baru saja merevisi hasil
sidang proposal yang dinilai sempurna. Ia hanya perlu mempertajam fokus
penelitian.
Tak
lama setelah file terbuka, Bu Hamidah telah menyapanya. Ia hari ini tampak ceria
dengan setelan hijau toska dengan kerudung khas miliknya yang memperlihatkan
sebagian rambut di dahinya, tanpa mengesankan berantakan. Pipit selalu terkagum
dengan sang dosen yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan bahasa yang
mudah dimengertinya. Walaupun bisa dikatakan selera keilmuannya sulit
dijangkaunya.
“Tiga
menit lagi kita mulai ya, satu mahasiswa lagi. Semoga dia segera datang,” ucap Bu
Hamidah.
Pipit
mengangguk cepat. Ia membenarkan posisi rambutnya yang teurai ke depan dengan
mengambil jepitan di saku tas.
Tiga
menit berlalu. Elang dipastikan belum sampai. Karena ia baru akan menuju pintu
masuk kampus UI. Sedangkan bu Hamidah bersiap mendengarkan hasil revisi
proposal Pipit. Di tengah obrolan, Pipit melihat lelaki berjalan cepat menuju
ke arahnya. Wajah lelaki itu sedikit tertutupi rambunya yang sedikit gondrong.
“Maaf
bu, saya telat,” ucapnya. Pipit baru bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu.
Ia mematung.
Sadar
ada yang memperhatikan, Elang menengok ke sebelah kirinya. Tatapan Elang membuat
Pipit salah tingkah. Ia tak berani lagi menatap. Sedangkan Elang menahan senyum
melihat reaksi perempuan di sebelahnya.
Bu
Hamidah sadar bahwa dua mahasiswanya belum saling kenal. Maka ia pun membuka
obrolan.
“Lang.
ini Pipit, mahasiswi Ibu di jurusan Ilmu Komunikasi. Kamu bisa tanya-tanya sama dia. Penelitianmu ada sedikit
hubungannya. Pipit ini cerdas loh. Kalau nanti skripsinya ini A, maka dia akan menjadi
mahasiswi dengan predikat cumlaude sempurna,” ucap Bu Hamidah. Pujian tersebut
membuat Pipit senang, walau ada beban dikenalkan dengan penilaian yang terlalu
bagus di depan orang yang baru dikenal.
Semenjak
pertemuan ini, Elang jadi sering menghubungi Pipit. mereka jadi sering ke
perpustakaan bareng, bahkan Elang tak keberatan diminta mengantarkan Pipit
menemui narasumber. Hal yang sama juga dilakukan Pipit, ia bersedia mengangkat
telepon tengah malam untuk mendengarkan keluh kesah Elang yang mengalami kesulitan
menyajikan data penelitian skripsinya. Hingga tibalah sampai pada sidang
skripsi.
“Selamat
ya Pit. Akhirnya terwujud juga untuk IPK 4 nya. Keren!!” Elang spontan memeluk
Pipit. Membuat mahasiswi dengan tubuh mungil tersebut terkejut. Namun ia
menikmati momen yang sedang terjadi. Ucapan selamat pun didapat dari
teman-temannya. Pipit tak bisa menahan tangis haru. Apalagi di momen Wisuda, ia
menjadi satu-satunya mahasiswi yang mendapatkan IPK 4.
Bagaimana
dengan Elang?
Walaupun
lelaki itu tidak semengagumkan dirinya. Prestasinya tidak buruk. Ia mendapatkan
IPK 3.61, tentu sudah angka yang bagus. Lagipula Elang tak memiliki target untuk
menjadi mahasiswa dengan nilai paling baik. Selama kuliah, ia lebih fokus
mengikuti kegiatan kemahasiswaan dan aktif dalam komunitas yang berfokus pada
kepedulian lingkungan.
Hal
itulah yang membuat Pipit mengagumi Elang. Mereka menjadi dua sejoli yang membuat
mahasiswa lain iri, bahkan mereka digosipkan pacaran.
“Kenap
harus backstreet sih? Ngomong saja lah kalau pacaran,” kalimat itulah yang
kerap disampaikan teman-temannya ke Pipit. Terkadang Pipit kesal sendiri
menghadapi kenyataan bahwa Elang tak pernah sekelumit pun membahas soal asmara.
Di
sisi lain, Elang merasa minder apabila berdekatan dengan Pipit. Lelaki itu merasa
sulit menjangkau alam pikiran Pipit yang sering membuatnya terlihat bodoh. Elang
juga ragu apakah Pipit bisa masuk ke dalam keluarganya mengingat Pipit dari
keluarga sederhana.
Hal
yang dipikirkan Elang memang tidak salah. Pipit mengalami hal yang sama atas
apa yang dialami Elang. Bedanya, Pipit minder karena dirinya bukan dari keluarga
kaya. Hingga rasa minder itu diperkuat dengan pertemuan dirinya dengan seorang
perempuan di toilet Mall.
“Eh,
kamu Pipit ya?” seorang perempuan berhijab merah jambu menegurnya. Melihat kebingungan
dirinya, perempuan itu memperkenalkan diri. Namanya Mutia.
Menyadari
bahwa mereka memiliki agenda pertemuan yang sama, Pipit dan Mutia menuju meja
makan yang di tempat tersebut sudah duduk Elang dan mamanya.
“Hei,
kalian kok bisa barengan,” Mama nya Elang mengomentari kedatangan mereka yang
bersamaan.
“Oh
iya Lang. ini Mutia, masih ingat gak? Kamu dulu ketemu masih kelas 1 SD. Sekarang
cantik ya. Salehah loh.. Mama rasa kalian bisa mulai saling mengenal,” kalimat
itu membuat Pipit terkejut. Ia langsung lemas menyadari bahwa pertemuan ini
bukan untuk dirinya. Melainkan untuk Elang bertemu dengan calonnya.
Semenjak
pertemuan itulah Elang tak lagi bertemu dengan Pipit. Bahkan nomor kontaknya
sudah tidak aktif. Elang kehilangan jejak. Semua media sosial tidak ada
pembaruan postingan. Elang tak mengerti apa yang terjadi. Hingga lima tahun
berlalu, nama Pipit kembali hadir dalam hidupnya. Itupun Elang tidak bisa
memastikan bahwa Pipit yang ditemuinya besok adalah orang yang sama dikenalnya
lima tahun silam.
Bersambung...
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar