Silau
matahari merangsek menerobos jendela kamar yang terbuka sedikit. Lelaki bernama
Elang yang masih terbaring di tempat tidur mulai terganggu, matanya mengerjap
terbuka perlana. Posisi terlentangnya berubah jadi miring, tangannya berusaha mematikan
alarm jam yang diatur sesuai keinginan, pukul 06:30 WIB. Elang mulai merubah
posisinya menjadi duduk. Matanya menyapu sekitar, mencari ponsel. Ia ingat
bahwa semalam mendapat pesan dari atasannya untuk menyiapkan presentasi untuk
rapat hari ini. Maka dia mengecek email terkait bahan yang dibutuhkan, ternyata
bahan yang dikirim sudah dikirim lengkap. Tinggal dia meramunya ke dalam
template presentasi yang ringkas dan menarik.
Belum
sempat melangkah ke kamar mandi, pintu kamar ada yang mengetuk. Elang
membukanya, dan terlihatlah sosok ibunya yang sudah rapi dengan pakaian dinas.
“Kamu
baru bangun?” Ibu Ratih terheran anaknya masih acak-acakan rambutnya. Elang
hanya menggeleng.
“Mama
sudah mau berangkat?” tanyanya.
“Mama
ada kegiatan di luar kota selama tiga hari. Sarapanmu sudah ibu siapkan ya,
maaf tidak sempat membangunkanmu tadi. Gak terlambat kan?” ucap Ibu Ratih
sambil melihat jam di tangannya.
“Tenang
Ma. Elang masih ada waktu buat makan sarapan yang sudah tersedia, makasih ya,”
Elang mengecup pipi ibunya.
Acara
sarapan pagi telah usai. Elang sekarang sudah ada di kantor. Matanya sangat
fokus menatap layar laptop. Dia sampai tidak sadar bahwa ada seorang OB yang
meletakkan secangkir kopi untuknya.
“Dinimun
pak, kalau sudah dingin gak enak,” ucapan itu membuat Elang kaget. Lalu menatap
OB yang menunduk minta maaf telah membuat kaget.
“Thanks
ya, bro!” Elang menepuk Pundak sang OB.
Elang
memang membutuhkan penghangat di ruangan yang cukup dingin, apalagi matanya
mulai ngantuk menatap grafik dan pointers yang dibuatnya.
Di
tempat berbeda, seorang bernama Pipit membenarkan posisi duduknya. Tamu yang
ditunggunya baru saja sampai dengan permohonan maaf karena terlambat 1 jam.
Tanpa basa-basi, Pipit langsung saja memulai memaparkan apa yang menjadi kebutuhan
atas pertemuan tersebut. Kurang lebih 10 menit ia menyampaikan, lawan bicaranya
mengangguk puas. Pipit langsung mendapat rekomendasi untuk datang ke kantor
tamunya.
“Nanti
staf saya yang akan menemui ibu Pipit. Informasi selanjutnya nanti supaya dia
yang menghubungi. Tak butuh waktu lama, pertemuan selesai. Di luar ruangan,
sudah ada 2 tamu lagi yang menunggu. Pipit tampaknya siap sibuk di hari
pertamanya mendapat jabatan baru sebagai Asisten Manajer. Ia mendapat ruangan
khusus yang hanya ada dia di ruangan.
“Silakan
masuk..” ucap Pipit pada tamu berikutnya. Ia menampilkan senyum tipis dengan
gerakan tangan memberi jalan. Semangat Pipit tak habis untuk menyambut tamu
demi tamu yang hadir. Hingga tibalah tamu terakhir di hari ini.
“Terima
kasih atas kerjasama. Segera kami kabari perkembangannya,” ucap Pipit menutup
pertemuannya.
Elang
di tempat kerjanya telah menyelesaikan tugasnya untuk mendampingi manajernya
paparan di hadapan Direktur. Ia melipat laptopnya untuk kembali ke ruang kerja.
Namun atasannya menghampirinya.
“Pak
Elang, besok temui seseorang di Starbucks Kuningan City ya. Terkait apa saja
yang perlu dibawa, segera saya email,” ucap Manajer. Elang mengangguk paham. Setelah
mendapat arahan tersebut, Elang bersiap untuk pulang kerja.
Jam
pulang kerja bukan cerita menarik bagi Pipit. Perempuan yang biasa naik KRL
tersebut mengganti sepatu yang tidak berhak tinggi. Supaya tidak menganggu, ia
mengikat rambutnya. Ia tidak mau ketika berdesak-desakan dengan penumpang
lainnya, rambutnya berantakan. Apalagi dia naik KRL di stasiun yang cukup ramai
penumpang, yaitu stasiun Sudirman.
Sampai
di rumah, Elang baru menerima bahan-bahan untuk pertemuan besok. Dia juga baru
mendapat kontak seseorang yang akan ditemuinya. Nama yang dikirimkan oleh sang Manajer
membuatnya mematung sejenak. Namun Elang tak mendapatkan petunjuk karena foto
profil yang dipasangnya adalah logo perusahaan yang ditempatinya.
Kejadian
berbeda dialami oleh Pipit. Perempuan yang baru saja menghempaskan badannya di
tempat tidur, mendadak terperanjak. Demi menerima pesan dari nomor yang baru
dikenalnya, ia merubah posisinya menjadi duduk.
“Elang?”
gumamnya.
Pipit
segera menyimpan nomor tersebut. Ia penasaran dengan foto profil dari nomor
kontak yang baru saja mengirim pesan padanya. Namun belum sempat ia melihat
fotonya, pintu kamar diketuk seseorang. Ia pun lebih memilih membuka pintu
lebih dulu.
“Bagaimana
pekerjaanmu hari ini, Nak?” sang ayah membelai rambutnya. Pipit menyunggingkan
senyum. Ia lalu memeluk sang ayah. Perhatian dari sang ayah itulah yang membuat
Pipit memilih untuk tidak tinggal sendiri yang lokasinya dekat kantor. Ia rela
jauh pulang ke Depok, walaupun harus berdesakan naik KRL.
“Kita
makan malam yuk!” ajak sang ayah. Pipit mengekor di belakangnya.
Tanpa
diketahui Pipit, Elang menunggu balasan pesan yang dikirim untuknya. Elang berkali-kali
mengecek aplikasi Whatsapp untuk tak sabar mengenal sosok Pipit. Dia penasaran
siapa perempuan yang akan ditemuinya besok.
Usai
makan malam bersama ayahnya, Pipit tak lagi mengecek ponselnya. Dia terlalu
bahagia bisa menikmati makan malam bersama ayahnya yang hampir setiap hari
dilakukan. Makan malam menjadi agenda rutin untuk saling berbagi cerita selama
seharian di luar rumah. Sang ayah pun masih cukup sibuk di Yayasan yang
dikelolanya. Apalagi setelah meninggalnya sang ibu, tampaknya ayahnya menyibukkan
diri untuk mengurangi rasa kesepian ditinggal ibunya 2 tahun silam. Tak butuh
waktu lama, Pipit tertidur. Di tempat yang berbeda, Elang masih bersama rasa
penasarannya. Pikirannya tiba-tiba teringat peristiwa lima tahun lalu.
Bersambung…..
Komentar
Posting Komentar