Ponselku
sepi. Tak ada chat dari siapa pun. Rasanya aneh ketika setiap hari selalu saja
ada pesan yang terkadang mengganggu dari orang yang sama, tiba-tiba hilang.
Awalnya aku baik-baik saja karena memang di kantor lagi banyak kerjaan. Tapi
sampai jam makan siang, tidak ada notifkasi dari nama yang ku tunggu. Aku pikir
semua akan segera membaik seperti biasanya. Ini sudah hari kedua, tetap sepi.
Ku
geser layar ponselku untuk melihat Instagramku. Barang kali ada notifikasi yang
tidak terbaca di sana, hasilnya sama. Pindah ke Facebook, tetap tak ada
messanger yang masuk. Malah yang ada telepon dari nomor yang tidak ku kenal.
Tapi aku bisa menebak, pasti mau menawarkan kartu kredit. Frustasi sendiri
jadinya.
“Muka
kamu kusut begitu, Ris? Berantem lagi sama Citra?” tiba-tiba Nayah duduk di
depanku sambil membawa semangkok mie ayam. Dia tampaknya sudah bersiap menjadi
psikolog handal. Kerudungnya dirapikan, gaya duduknya dibuat elegan mungkin.
Aku
tak menjawab pertanyaannya. Masih malas untuk menceritakan apa yang terjadi.
“Masalah
yang sama? Ayolah, siapa tahu aku bisa membantumu” Nayah tak menyerah. Aku yang
kini menyerah, ku ceritakan juga padanya.
“Bukan,
ini lebih serius dan bergengsi,” ucapku memulai obrolan.
Nayah
hampir tersendak mendengar ucapanku. Mungkin terdengar lucu piliham kata yang
ku pakai. Dia lalu menatapku seperti ingin menegaskan apa hal serius yang
terjadi sehingga untuk hal ini aku menganggap sebagai masalah yang tidak bisa
dianggap remeh.
“Kalau
aku boleh tahu, ono opo?” Nayah terlihat serius ingin tahu. Posisi duduknya
berubah. Tangannya ditumpukan ke dagu, wajahnya lebih dekat ke arahku.
“Bisa
dipelankan itu suara?” aku mengingatkan bahwa kita sedang di kantin.
Nayah
mengatupkan tangannya ke bibir. Pertanda dia menyadari keteledorannya.
Aku
mulai bercerita padanya.
Malam
itu, tepatnya tiga hari sebelumnya. Aku mengajak Citra makan malam seperti
biasa, aku tak mempersiapkan sesuatu yang spesial, karena inginnya menjadi
kejutan. Tempatnya saja yang memang kami belum pernah datangi. Suasana hati
Citra baik-baik saja. Dia cerewet seperti biasa, asyik cerita tentang kerjaan
di kantor, teman-temannya yang mengajaknya liburan di akhir pekan, dan Mama nya
yang rajin membuat kue. Hingga adiknya yang merengek minta dibelikan sepatu
futsal.
“Ku
bilang padanya, minggu depan setelah aku gajian. Dia gak sabar, padahal kan
niatku ingin beli yang bagus sekalian. Jadinya ya, aku belikan yang harganya ratusan
ribu,” ucapnya. Aku mengangguk setuju.
“Kalau
begitu, aku nanti beli juga buat dia ya. Biar ada gantinya,” usulku.
“Eh
gak usah Ris, mending buat kebutuhan yang lain saja. Kamu kan juga harus nabung,”
timpalnya.
Aku mengiyakan saja, namun tetap aku pikirkan untuk membelikan
sepatu buat Dio, adiknya Citra.
Ketika
Citra sudah tidak lagi bicara. Maka giliranku yang mengungkapkan niat baikku
untuk melamarnya. Aku mulai dengan membicarakan hubungan kita selama ini, suka
duka, dan banyak hal yang sudah kita rencanakan. Tampaknya Citra mulai menangkap
arah pembicaraan kami.
“Kamu
tumben ngomong ginian, ada apa?” tanyanya dengan raut wajah yang sulit ku
tebak. Namun aku sudah bertekad untuk melamarnya. Aku sudah yakin, semua
kesabaran Citra menghadapi sikapku yang dianggapnya suka tebar pesona, telah teruji.
Walaupun kadang aku sering kesal sendiri mendapati sikap cemburuannya yang
merepotkan. Aku menyadari bahwa semua hal yang ada dalam Citra, baik atau
buruknya siap aku terima. Sama seperti dia menerima hal-hal buruk yang ada
dalam diriku.
“Hei,
kamu ini ya kebiasaan, di tanya malah diam. Lanjut makan deh, itu makananmu
masih banyak,” ucap Citra. Tapi aku malah dilanda gugup yang kuat. Ternyata tidak
mudah juga untuk mengatakan hal yang penting ya.
“Faris
Ibnu Rasyid, kamu dengerin aku gak sih? Aneh deh,” Citra mulai kesal karena aku tak
kunjung mengatakan apa pun.
“Cit,
kamu mau gak nikah sama aku?” semudah itu kalimat penting akhirnya terucap. Tak
ada lebih dari 5 detik. Tapi rasanya sulit ditebak dan tidak bisa lagi ditarik
ulang. Rasa gugupku masih menggebu. Walaupun aku memiliki keyakinan bahwa ini
hanya formalitas saja, Citra pasti setuju dan sudah menunggu lama kalimat itu. Tapi
tunggu dulu, apa yang terjadi?
Citra
membeku. Tidak tampak raut wajah kaget yang mengarah pada rasa bahagia, haru,
atau apa pun yang menunjukkan bahwa kalimat yang aku ucapkan adalah penantian
panjang. Ia lalu menundukkan pandangannya. Aku tak bisa melihat lagi wajahnya
yang tegang tadi. Perlahan tangannya mengambil ponsel yang terletak di meja. Ia
lalu mengalungkan tali tas di pundaknya. Terakhir dia berdiri.
“Ris,
sorry ya!” ucapnya.
Lalu
dia melenggang pergi. Aku duduk bengong dengan apa yang terjadi. Aku bahkan tak
berdaya untuk mengejarnya. Ini di luar dugaan. Apa yang dipikirkan selama ini
dengan hubungan kita?
“Ris,
kamuy akin?” Naya berkomentar
“Kok
kamu jadi ngeselin? Kan dia berhak untuk menolak atau menerima,” aku tersulut
emosi.
“Maksudku,
selama ini kan yang aku tahu, Citra itu sayang banget sama kamu. Bahkan
terkesan posesif kan, ini kok ketika kamu berniat baik untuk serius terhadap
hubungan kalian malah ditolak, why?” Nayah berapi-api.
Nayah
ini benar-benar ya. Kalau aku tahu masalahnya apa, tidak mungkin aku sefrustasi
ini. Percuma aku ceritakan masalahku padanya.
“Sudahlah,
aku balik kerja!” sungutku.
“Ris.
Aku tahu…” ucapan Nayah membuatku tidak jadi bangkit. Aku kembali duduk.
“Tahu apa?” tanyaku.
“Kasih
aku kesempatan ngomong ke dia dulu ya, oke?” tawarnya.
“Baiklah.
Thanks ya sudah mau bantu,” ucapku.
Nayah
mengangguk. Dia meyakinkan aku bahwa semua pasti ada jalan keluarnya.
Tiga
hari menunggu, Nayah menghubungiku. Dia memintaku untuk datang ke kedai kopi
miliknya di daerah Tebet Jakarta Selatan. Ku janjikan setelah Maghrib, soalnya
aku masih harus antar jemput ibuku yang rutin mengikuti pengajian.
Tiba
waktunya aku datang ke tempat yang diminta. Aku melihat ada Citra di dalam. Aku
sebenarnya kecewa sama dia, karena setelah peristiwa itu dia sama sekali tak
menjelaskan apa pun. Bahkan chatku tak pernah dibalasnya. Namun aku harus lebih
bijak menghadapi masalah ini. Boleh jadi sekaranglah waktunya aku mendengarkan
alasannya.
Nayah
menghampiriku lebih dulu. Ia membisikkan sesuatu yang intinya aku harus siap
menerima apa pun penjelasannya. Aku tidak boleh marah atau kecewa apabila
hasilnya tidak baik. Aku mengangguk.
Ku
hampiri Citra yang sudah duduk menunggu. Dia terlihat sangat canggung. Aku tak
mengenal Citra yang biasanya riang, penuh senyum, dan mampu membuat siapa pun
yang dekat ikut merasakan kebahagiaannya.
“Cit,
kamu baik-baik saja kan?” aku mulai buka obrolan.
“Alhamdulillah
Ris, baik. Hanya saja, ada hal yang mengangguku akhir-akhir ini,” ucapnya. Menganggu
katanya, apakah lamaranku adalah hal yang mengganggu buatnya? Astaga, kenapa
ini terasa sangat menyakitkan ya.
“Sorry
ya Cit, kalau ternyata apa yang aku katakan tempo hari salah,” ucapku mencoba
fokus pada masalah yang ingin aku pecahkan.
“Gak
salah kok Ris, apa selama ini aku salah ngejar-ngejar kamu. Cemburu ke siapa
pun cewek yang dekat sama kamu? Apakah aku salah selama ini melarangmu ini itu,
menuntutmu untuk memprioritaskan hubungan kita? Kalau itu memang sebuah
kesalahan, aku pun minta maaf ya, Ris,” ucapnya.
“Maksudnya
ini apa, Cit? Aku masih bingung,” timpalku.
Arah
pembicaraan kami sulit ditebak. Citra malah mengungkit apa yang selama ini
terjadi dalam hubungan kita.
“Ris,
tiga tahun kita menjalani semua ini. Aku tak bisa menghitung berapa kali kamu mutusin
aku, hampir setiap ada masalah, kamu selalu mengucapkan kalimat itu. Dan tiba-tiba
kamu mengajakku menikah? Oke harusnya aku bahagia, kamu lah orang yang aku
idam-idamkan, aku perjuangkan, bahkan tak jarang aku mendapat cibiran dari cewek
lain yang menganggapku sampah karena gak mau putus dari kamu,” emosi Citra
meluap. Seketika menyadarkanku atas apa yang selama ini sudah ku lakukan
terhadapnya. Apakah aku sudah sejahat itu padanya?
“Jadi,
ini hukuman buat aku?” tanyaku.
“Ris,
tak ada yang menghukum kamu. Ini masalahku, entah kenapa justru aku tidak yakin
ketika orang yang selama ini aku sayangi melamarku. Aku justru sekarang yang
ragu bahwa kita bisa bersama. Aku juga tidak bermaksud membalaskan dendamku
hingga seminggu ini tidak menjawab panggilanmu. Aku hanya butuh memikirkan
banyak hal, tiga tahun bukan waktu yang main-main kan untuk mengingat semua
hal. Dan pada sebuah kesimpulan, kita akan selalu menghadapi masalah yang sama,
dan kamu tak pernah akan berjuang,” jelasnya.
“Cit,
aku minta maaf kalau selama ini aku sudah mengecewakanmu. Justru selama tiga
tahun kita menjalani semua suka dan dukanya itu lah yang membuatku akhirnya
meyakini bahwa kamu bisa menjadi pasanganku seumur hidup dengan segala kekurangan
dan kelebihan kita masing-masing. Aku yakin sama kamu, yakin bisa hidup bareng
sama kamu Cit,” bujukku.
“Tapi
aku gak yakin kamu bisa, Ris. Ini bukan lagi waktunya aku mencintaimu
berkali-kali dan patah hati berkali-kali. Ini waktunya aku menyadari bahwa kita
berhak mencintai dan dicintai oleh satu orang seumur hidup. Dan maaf Ris, aku
tidak melihat itu di kamu,” pungkas Citra.
Ia
meninggalkanku sendirian. Tidak ada adegan dia menengok ke belakang menyesali
apa yang dia ucapkan. Citra benar-benar pergi dengan penjelasan yang sangat menampar
kebanggaanku sebagai cowok yang dipuja-puja banyak cewek. Lalu apa diriku
sekarang?
Cit,
jatuh cinta berkali-kali dan patah hati berkali-kali pasti melelahkan buatmu. Tapi
ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya itu benar adanya, sungguh menyakitkan. Tapi
aku menghormati keputusanmu. Terima kasih sudah sabar selama 3 tahun menjadi
bagian dari penggalan kisah hati, yang bisa membuatku patah juga.
Komentar
Posting Komentar