Langkah awal melepas status lajang baru saja aku lewati. Campur aduk perasaan bergelinang di pikiran. Ada rasa haru, senang, gugup, suhu badan panas dingin, dan rasa lainnya yang sulit dijelaskan kecuali kalian berada di posisiku. Hei, hari ini aku menikah loh, teriakku dalam hati. aku menikah dengan orang yang ku yakini bisa bersama seumur hidup, dalam susah senang, untung malang, dan berbagai kesanggupan dalam menghadapi pahit manisnya kehidupan.
Bicara terkait pesta pernikahanku, rasanya tak berbeda dengan kebanyakan orang. hanya saja, kebetulan Anna adalah perempuan berdarah jawa, maka konsep pernikahan kami menggunakan adat jawa dilengkapi dengan acara siraman. undangan yang kami sebar pun mengharapkan doa dari berbagai kalangan, tidak terkecuali tampak anak-anak yang ku lihat sekarang merajuk ke mamanya tak sabar meminta es cream yang masih disiapkan petugas catering. ada juga tangisan bayi terdengar di telingaku. ibu-ibu dengan kebaya mereka tampak asyik mengomentari apa pun untuk memenuhi kebahagiaan kami.
Bicara terkait pesta pernikahanku, rasanya tak berbeda dengan kebanyakan orang. hanya saja, kebetulan Anna adalah perempuan berdarah jawa, maka konsep pernikahan kami menggunakan adat jawa dilengkapi dengan acara siraman. undangan yang kami sebar pun mengharapkan doa dari berbagai kalangan, tidak terkecuali tampak anak-anak yang ku lihat sekarang merajuk ke mamanya tak sabar meminta es cream yang masih disiapkan petugas catering. ada juga tangisan bayi terdengar di telingaku. ibu-ibu dengan kebaya mereka tampak asyik mengomentari apa pun untuk memenuhi kebahagiaan kami.
Lalu apa istimewanya pernikahan kami? jawabannya adalah pernikahan ini dikasikan oleh Mama. Beliau yang
biasa mengenakan karai momo (pakaian khas Minahasa), sekarang mengenakan kebaya
adat Jawa, lengkap dengan rias paes. Aku sempat tak mengenalinya, kalau saja ia tak menatapku senyum, sebuah senyuman khas yang tak akan bisa ditiru oleh perempuan mana pun. Dia
lebih cantik dari biasanya. Apalagi senyum di bibirnya meneduhkan siapa pun
yang menatap. Senyum itu yang aku saksikan sebelum masuk Masjid untuk
melangsungkan Akad Nikah. Sempat ada perasaan sedih, ketika Mama tidak masuk ke Masjid, karena Mama dan keluarga besarku memang memiliki pilihan keyakinan yang berbeda. Tapi tenang saja, aku dan Anna sudah menyiapkan tenda di halaman Masjid
untuk keluargaku dari Manado. Sekaligus layar besar untuk mereka bisa
menyaksikan prosesi langsung Akad kami.
Sebelum masuk ke Masjid, Mama menatapku begitu lekat. Pupil
matanya mulai mengeluarkan butiran bening. Aku spontan mengusapnya. Mama,
baik-baik kan? Kalimat itu hanya terucap dari hati. Mama seakaan mengerti, ia
lalu memelukku cukup erat. Anna yang ada di sampingku, ikut bergabung dalam dekapan. Semua mata pasti menyaksikan kehangatan kami. Biarlah, dalam momen yang
sakral ini pasti ada garis waktu yang membuat kami haru, bahagia, dengan
ekspresi yang kadang justru menangis sesenggukan. Hal itu yang terjadi pada
kita bertiga, tanpa direncanakan.
Selepas memelukku, Mama
mengusap pipiku. Lalu ia berucap lirih, “Kamu mirip sekali dengan Papa mu,”
ucapnya.
Aku menjadi paham apa yang
sedang ingin Mama katakan. Ia merindukan Papa. Orang yang memiliki kisah hampir
sama dengan perjalananku menikahi Anna. Hanya saja aku lebih beruntung dari
Papa, karena keluargaku masih merestui pernikahan ini. Sedangkan berdasarkan
cerita dari Mama, kisah perjalanan mereka jauh dari kata pesta pernikahan yang
ideal. Papa yang memutuskan mengikuti agama yang diyakini oleh Mama, terpaksa
diusir dari keluarganya. Bahkan di hari bahagia mereka, keluarga Papa tidak hadir
untuk merestui pernikahan mereka. Sehingga pernikahan Mama dan Papa hanya
digelar secara sederhana di kepulauan Sitaro, tanah kelahiranku.
“Semoga ALLAH memberkatimu,
Nak” begitulah doa Mama sebelum aku melangsungkan Akad Nikah. "Amiin, terima kasih untuk doanya, Ma" kataku.
Usai mendapat wejangan dari Mama, aku dan Anna segera memasuki
Masjid Sunda Kelapa yang sudah disulap menjadi tempat Ijab Qabul. Sesuai
rencana kami berdua, banyak aksen mawar dan anggrek putih menghiasi setiap
sudut ruangan. Anna yang lebih banyak berperan dalam pemilihan dekorasi
ruangan, termasuk permintaan maharnya adalah laptop. Alat itulah yang paling
sering menemaninya. Bagi Anna, laptop dan dirinya adalah kesatuan yang
saling melengkapi. Lalu, aku posisinya di mana? Sempat aku mengajaknya bercanda dan ditanggapi dengan cubitan di pinggang. Tentu aku mengaduh kesakitan, tapi melihat senyumannya, rasa sakit itu tak terasa.
Kembali pada proses resepsi
yang sedang berlangsung, aku harus kuat berdiri untuk bersalaman dengan ribuan
undangan yang hadir. Kata Anna, aku bisa pura-pura kebelet ke toilet untuk sekadar ingin rebahan di ruang rias. Mana mungkin aku melakukannya, sekalipun ingin rebahan kan enaknya berdua ya. Hehe...
Satu per satu tamu hadir menyalami kami. Di antara tamu yang hadir, ternyata ada
satu orang yang menyita perhatian kami. Anna dan aku saling bertatapan. Orang itu adalah Ariyo mantan kekasih Anna. Seingatku, yang ikut
dalam menulis siapa saja yang perlu kita undang, tidak ada namanya dalam daftar
kami. Dia seseorang yang pernah membuatku kesal karena ulangnya yang sok kaya.
Hari ini dia datang juga seakan tak pernah terjadi apa-apa. Dia semakin dekat
dengan posisiku dan Anna.
“Hei, selamat ya! Akhirnya
kalian menikah juga,” ucapnya.
Ku lirik Anna memaksakan
senyum. Aku pun demikian. Tak ada kesan positif atas kehadirannya. Ia seolah
mencemooh pesta kita. Lihatlah lagak dia, menyapu pandangan seisi ruangan,
seakan memastikan bahwa apa yang ia lihat bisa menjadi bahan untuk berkomentar.
Anna memegang tanganku erat, mencoba menenangkanku. Aku sudah waspada akan hal
yang ingin dia lakukan.
“Lumayan juga, not bad lah,”
ujarnya setelah menjabat tanganku.
“Kamu gak diundang, kenapa ke
sini?” aku berkata tajam ke arahnya. Dia tak menanggapi, malah menatapku sinis.
Lalu ia berlalu.
Aku tak sempat memperhatikan
dia lagi. Banyak tamu undangan yang sudah mengantri untuk memberikan ucapan
selamat atas pernikahanku dengan Anna.
Tamu selanjutnya yang
mengejutkan adalah Mas Tama, mantan atasannya Anna. Ku duga yang di sebelahnya
adalah istri Mas Tama, cantik dan elegan. Aku melirik Anna, dia pasti merasa
malu karena tidak mengundangnya. Padahal aku sudah ingatkan bahwa lelaki yang
pernah menjadi bosnya itu wajib diundang, terlepas mau hadir atau tidak, bukan
ranah kita lagi.
“Duh, terima kasih loh mas
atas kehadirannya,” Anna mampu menguasai dirinya.
“Walau pun tidak diundangnya
ya,” Mas Tama sukses membuat raut wajah Anna malu.
“Maaf ya mas, kami mengurus semuanya
sendiri. Malah kelewat nama orang penting ini,” aku mencoba menebus rasa
bersalah istriku, Anna.
“Aku tahu kok Bil. Istrimu ini
masih dendam sama aku. Take it easy, dude!” Ucapnya santai.
Anna tak bisa menyembunyikan
rasa malunya. Ia bergegas memelukku mencari perlindungan.
“Doakan kami langgeng ya mas. Lain
kesempatan, kami akan datang ke rumah kalian, belajar menjadi keluarga yang
baik,” mendengar omongan itu, Mas Tama hanya menyunggingkan senyum.
Tamu undangan sudah hampir
habis. Aku tak banyak mengenali siapa saja mereka yang datang. Bisa jadi,
kebanyakan adalah kolega dari keluarga kami. Banyak sekali kejutan sebenarnya,
karena dari tamu yang hadir banyak dari mereka yang tak terpikirkan akan berada
di depan kami untuk memberikan selamat. Bahkan aku tidak menyangka bahwa Pendeta
Frans yang dulu membabtis aku, menyempatkan hadir untuk mengucapkan selamat
atas pernikahanku. Aku tahu dia kecewa atas pilihanku, tapi dia tokoh agama yang
bijak. Pasti memahami arti jalan terang bagi semua manusia. Namun ia masih
sempat membisikkan Matius 19:6.
“Pegang teguhlah itu, dengan
keimanan barumu. Aku percaya, setiap agama mengajarkan kesetiaan pada pasangan,”
ucapnya. Aku mengangguk. Benar sekali, setiap agama memiliki ajaran yang mulia,
tergantung mana yang membuat kita iman atas hal tersebut.
Akhirnya selesai juga menyambut tamu. Aku memperhatikan Anna begitu
cantik walaupun dengan raut wajah yang kelelahan. Semenjak prosesi ijab qabul
hingga resepsi, baru sekarang aku bisa memperhatikannya cukup lama, lekat, dan
tenang. Tanpa satu orang pun yang mengangguku. Anna, akhirnya aku menikahimu. Tidak
ada kata yang mampu mewakili kebahagiaanku, selain tangan ini yang tak ingin
melepaskan dari genggamanmu.
“Menikah tak berarti akhirnya kamu sah jadi milikku, melainkan sebuah sinyal untuk tak boleh seorang pun menghancurkan janji suci"
Anna, terima kasih segala
penerimaanmu padaku. Untuk urusan rumah, mobil, dan investasi ku serahkan semua
padamu. Aku yakin, uangku yang tak seberapa bisa mewujudkan itu semua atas kecerdikanmu
berhemat, bahkan bisa dibilang pelit kali ya. Kadang suka ‘gemes’ sendiri ada
gitu perempuan yang cuek dengan penampilan, tidak suka dandan, tapi tetap
cantik, itu ya kamu. Sedangkan urusan mengajakmu nonton konser, mengunjungi
galeri seni, dan peralatan vlog yang kita bangun, aku yakin diriku yang
menguasai camera tercanggih dan segela perlengkapannya.
Aku yakin, apa yang ku
sebutkan itu hanya contoh kecil bagaimana nanti aku dan kamu membangun rumah tangga.
Kita akan menghadapi hal yang lebih besar lagi dalam membagi peran dalam
keluarga. Misalnya, nama untuk anak-anak kita nanti, menggunakan nama Islam,
nama Jawa, atau nama Manado. Sekolah-sekolah mereka, apakah di sekolah Islam,
sekolah umum, atau bahkan di sekolah inklusi. Dan banyak lagi kita menghadapi
perbedaan pilihan. Semoga kita mampu membagi peran-peran itu supaya di antara
kita berdua tidak merasa sendirian.
“Kenapa lihat aku begitu?”
Anna akhirnya menyadari tatapanku.
“Jangan bilang ya, aku lebih cantik
tanpa riasan,” lanjutnya.
Aku tertawa lepas dengan
kalimat terakhirnya. Ternyata dia tahu apa yang aku pikirkan. Tak sempat
menghindar, aku diganjar cubitan yang keras. Hampir saja lagu “Perfect” nya Ed
Sheeran gagal romantic gara-gara ulahnya itu.
Anna, I love you.
Duuuh... baper baca ceritanya...
BalasHapus