KESAL.
Itulah yang ku rasakan akhir-akhir ini. Dosen pembimbingku tak kunjung
memberikan jawaban mengenai revisi proposal Tesis yang sudah ku kirimkan lewat
email. Bahkan pesan yang ku kirim melalui Whatsapp tak dihiraukannya. Dosen pembimbing
kedua, malah asyik merivisi Teknik penulisannya yang baku. Padahal yang aku
butuhkan adalah ide mengenai penelitianku yang masih gamang ini.
Teman-teman
ku di kampus jauh lebih beruntung. Ardan telah rampung membuat latar belakang
penelitian. Winda, bersorak di Insta Story nya dengan mengunggah buku yang
cocok untuk dijadikan teori penelitiannya. Kania, mengirim kabar bahwa dosen pembimbingnya
sabar sekali memberikan arahan. Bagaimana denganku? Ah, aku semakin dibuat
pusing dengan kabar-kabar itu.
“Dik,
kamu makan dulu. Abang sudah belikan mie ayam kesukaanmu,” ucap Bang Herman,
suamiku. Aku menggeleng.
Tak
berusaha merayuku, dia malah sibuk dengan kopi yang diseduhnya. Lalu ia
menghidupkan televisi menonton acara berita.
Huft,
aku memang tak bisa mengharapkan Bang Herman melakukan apa yang suami orang
lain lakukan. Dia memang bukan tipe yang pria yang romantis. Bahkan selama 2
tahun pernikahan kami, perasaanku hampa. Apa yang pasangan muda bicarakan
tentang pernikahan, jauh dari apa yang aku rasakan. Ketika aku mengaduhkan
masalahku ini ke teman dekatku. Dia selalu mengingatkanku, “Put, jarang loh ada
suami yang mengizinkan istrinya kuliah lagi. Kamu harus tetap bersyukur dengan
hal ini,” ucapnya.
Yah,
aku memang harus tetap bersyukur kepada Allah SWT. Dia memang tak menuntut apa
pun dari aku. Padahal kami punya masalah yang serius, aku belum hamil. Itulah perbincangan
mertua yang tiga bulan terakhir semakin terngiang di telingaku. Apalagi di
tengah pusingnya aku mengerjakan proposal Tesis, malah berhembus bahwa ibu
mertua menyarankan Bang Herman untuk berpoligami. Aku sampai gemetar mendengar
kalimat yang terucap dari perempuan itu. Apakah dia tidak bisa berempati dengan
keadaanku sedikit saja?
Bang
Herman memang belum menjawab tawaran itu. Tapi yang ku duga, dia pasti akan
mengiyakan omongan ibunya. Selama ini, dia tidak pernah sedikit pun menolak
kemauan ibunya. Kecuali, ketika menikahiku. Dia bertahan untuk mendapatkan
restunya. Tapi anehnya, ketika ia berhasil mendapatkan restu, untuk beberapa
keputusan yang diambilnya lebih berpihak pada ibunya. Astaghfirullah, kenapa
aku jadi membicarakan aib suamiku seperti ini. Putri, jangan sekalipun kamu
merasa sendirian, Allah akan menolongmu dari segala masalah yang menimpa.
“Dik,
abang keluar bentar ya. Ada urusan,” ucapnya. Aku mengangguk.
Aku
tak terlalu menanggapi ke mana dia pergi. Tanpa pamit, dia pun sering keluar
rumah dengan urusan yang tak begitu penting. Bahkan yang aku tahu, terkadang
hanya nongkrong dengan teman kajiannya.
Aku
kembali berusaha meenguatkan niat untuk membaca beberapa jurnal penelitian yang
sudah direkomendasikan oleh dosen yang sukarela mau membantuku, Ibu Maria. Dia perempuan
yang baik, dengan pakaianku yang terbilang sering mendapat tatapan sinis dari
orang-orang ketika naik KRL, yang identik dengan Islam Radikal, bu Maria yang
berbeda keyakinan denganku justru seirng sekali mengajakku terlibat dalam
kegiatannya yang menumbuhkan semangat perempuan untuk memperbaiki kualitas.
Ketika
sedang serius membaca jurnal tentang perempuan, ada pesan masuk dari Ardan.
“Putri,
bagaimana dengan proposalmu. Ada perkembangan dari dosen pembimbing?” tulisnya.
“Belum,
Dan. Masih belum ketemu kerangkanya,” balasku.
“Apa
yang bisa aku bantu. Aku ke rumahmu ya?” sambungnya.
“Suamiku
lagi keluar,” balasku.
Ardan
mengirimkan gambar jempol. Paham dengan apa yang ku maksud.
Ardan
memang perhatian sama aku. Dia teman yang bisa diajak diskusi dan berbagi
pengalaman. Dia cepat sekali menyesuaikan dengan latar belakang aku yang
memiliki pemahanan agama yang berbeda dengan dia. Apabila teman pria lain
langsung menjauh dari aku karena dianggapnya aku sok suci, berbeda dengan
Ardan. Pria itu tak pernah tersinggung ketika awal aku diajak bersalaman, dan
aku tak menyambutnya. Dia tak mempermasalahkan ketika aku enggan ngobrol berdua
saja dengan dia, mengingat kami bukan muhrim. Malah dia berusaha mengimbangiku
untuk tidak melakukan hal-hal yang tak sesuai dengan keyakinan yang aku jalani.
Padahal aku tahu, Ardan tipe pria Jakarta yang menganut pergaulan semi barat. Dia
sudah biasa cipika-cipiki dengan lawan jenisnya ketika berjumpa. Bahkan dia
tidak canggung untuk merangkul atau berpelukan dengan lawan jenis. Hanya saja
ketika ada aku, perilaku-perilaku itu coba dia hindari.
Astaghfirullah,
aku malah banyak memuji dia. Semoga ini hanya bentuk kekagumanku pada teman,
bukan perasaan yang lain.
Batas
akhir pengumpulan proposal Tesis tinggal dua minggu lagi. Waktu terus berjalan,
tapi belum ada pergerakan yang pasti. Aku malah berfikir, apa semua ini memang
ada hubungannya dengan omongan tetangga dan keluarga besar bahwa aku kuliah
adalah bentuk pembangkangan sebagai istri yang salehah. Aku telah keluar dari
ajaran agama? Aku bergelinang dengan pikiran-pikiran yang akhirnya membuatku
pusing sendiri, dan akhirnya aku jatuh sakit.
“Bang,
kau ikhlas kan aku kuliah?” itulah pertanyaanku ketika bang Herman menyiapkan
obat untuk aku minum. Dia menatapku, “Kamu sudah mau selesai, kenapa baru
menanyakan itu? Pasti abang ikhlaslah,” jawabnya mantap.
Aku
masih belum puas dengan jawabannya. “Aku ini istri yang salehah gak bang?”
ucapku.
Dia
menatapku lekat. Aku tak berani memandang tatapannya. Segera ku tundukkan pandanganku.
“Sudahlah,
kamu jangan terlalu mikir yang lain. Sekarang sebaiknya, lekas sembuh. Supaya Tesis
mu segera bisa dikerjakan. Abang ada janji sama orang, mungkin agak lama
keluarnya,” ucapnya.
Baiklah.
Aku untuk kesekian kali harus sendirian di rumah. Aku tetap bersyukur karena
dia sudah mau mengantarkanku ke dokter dan menjagaku untuk beberapa waktu. Walaupun
sebenarnya aku ingin ditemani sepanjang hari.
Tiga
hari tak melakukan pekerjaan apa pun ternyata bosan juga. Alhamdulillah kesehatanku
sudah membaik. Akan tetapi, Bang Herman beberapa hari terakhir malah sering
keluar, jarang di rumah selepas mengajar di SDIT. Aku kadang penasaran apa yang
dilakukan, karena dia tak memberitahu alasannya. Namun ketika aku sedang
merapikan rumah dan kamar kami, tak sengaja ada sebuah foto perempuan
berkerudung merah jambu. Tanganku bergetar ketika hendak memungutnya.
Aku
segera menghubungi bang Herman. Aku memintanya untuk pulang. Tapi dia tak
menyanggupinya. Malah dia mematikan teleponku ketika belum selesai berbicara.
Astaghfirullah, apakah dia akan berpoligami? Walaupun ini tidak dilarang oleh
agama, entah kenapa aku tidak siap. Ini terlalu menyakitkan apabila berbagi
kasih sayang dengan suami, tapi memang aku tak bisa memberinya keturunan.
Dua
jam setelah aku hubungi, dia baru pulang. Aku sudah tak sabar untuk menanyakan
terkait foto yang aku temukan.
“Bang
ini siapa?” tanyaku tanpa basa-basi.
Bang
Herman terkejut dengan foto yang aku temukan. Namun selanjutnya dia bersikap
tenang.
“Abang
baru saja menemuinya dik,” ucapnya.
Mendengar
kalimat itu, aku semakin tak bisa menahan emosi.
“Jadi,
selama ini sering keluar tanpa bilang ada urusan apa, ini yang abang lakukan?”
tanyaku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Bang
Herman diam. Astaghfirullah, jadi benar dia akan berpoligami. Apakah nasibku
akan semalang itu?
“Bang,
apakah kamu ingat perjanjian kita ketika taaruf? Ada satu syarat yang aku ajukan
sebagai penentu menerima pinangan abang. Masih ingat?” tanyaku sambil menangis.
Aku tak kuat lagi membendung air mata ini. Kerudungku basah.
“Abang
tidak pernah lupa dik,” ucapnya.
“Lalu
kenapa sekarang….” ah aku tak kuat untuk melanjutnya kalimat itu.
“Tenang!
Dengarkan abang lebih dulu. Kamu sudah terlalu jauh mikirnya,” ucapnya.
“Sudah
bang, malam ini aku butuh waktu sendiri,” aku meninggalkannya. Masuk ke kamar. Aku
menguncinya.
Berkali-kali
aku mengucap istighfar kepada Allah. Pandanganku mendadak kabur, dan takt ahu lagi
apa yang terjadi setelahnya.
Paginya,
ketika aku bangun, bang Herman sudah berangkat mengajar. Dia tidak membangunkanku.
Tampaknya aku memang sudah tidak penting lagi baginya. Seharian aku tak
melakukan aktivitas apa pun, Tesis yang semakin dekat dengan batas pengumpulan
tak lagi menjadi kekhawatiranku.
Menjelang
sore, bang Herman pulang. Dia membawa tumpukan berkas. Dia mengucapkan salam
dengan raut wajah yang ceria.
Aku
heran dengan sikapnya. Tidakkah dia memikirkan apa yang semalam kita obrolkan?
“Dik,
abang ingin ngomong penting. Kemarilah!” pintanya.
Aku
mendekat ke arahnya.
“Maafkan
abang kalau selama ini belum bisa bercerita tentang ini. Abang masih menunggu
hasilnya dan alhamdulillah Allah telah menjawab doamu,” ucapnya.
Aku
bingung dengan ucapannya.
“Dik,
kamu mendapatkan beasiswa S3 di Eropa, abang yang mengurus semuanya selama ini.
Jurnal-jurnal yang sudah kamu publikaskan di jurnal internasional telah menarik
minat mereka untuk memberimu beasiswa,” ucapnya bersemangat.
Aku
terkesima. Harusnya aku bahagia, tapi kenapa aku masih saja datar.
“Kenapa
kamu sepertinya tidak bahagia?” ucapannya tak menggebu lagi.
“Berarti
abang bisa melepasku dengan tenang ya bersama perempuan itu,” ucapku lemah.
“Astagfirullah.
Kamu belum mendengarkan jawaban abang sudah memiliki kesimpulan sendiri. Kemarin
malam, abang menemui perempuan itu untuk memberikan jawaban bahwa abang tidak
bisa menikah dengannya. Abang memilih menemanimu ke mana pun pergi, itu sudah
janji abang, dik,” ucapnya.
Demi
mendengar kalimat itu, hatiku seperti disiram air es. Kegundahanku yang selama
ini menggelayut di pikiran, tiba-tiba tersadar.
“Allah
telah mendatangkan kamu bukan untuk membuatku sempurna, tapi membuatku jadi
lebih berarti dibandingkan kesendirian. Aku berharap, pikiran itu yang ada di
kamu juga”
Astagfirullah.
Betapa aku selama ini telah salah sangka kepada suamiku. Diam-diam dia telah
melakukan hal besar yang belum tentu suami orang lain lakukan. Dia sama sekali
tidak memiliki ego untuk dirinya sendiri. Bahkan dia tidak takut kalau
pendidikanku yang lebih tinggi akan membuatnya rendah.
Inilah
surga tersembunyi yang selama ini tak pernah aku lihat. Suami yang tanpa banyak
nasehat telah menghantarkanku menjadi perempuan yang bermartabat. Dia bukan
suami orang lain yang pandai membuat kalimat romantic untuk membuai perasaanku.
Akan tetapi dia suami yang dengan diamnya, telah melakukan hal besar untuk
diriku.
Haruskah
aku malas mengerjakan Tesis? Tidak. Semenjak mendengar kabar itu dari suamiku,
aku semangat dan dimudahkan oleh Allah untuk menyelesaikan Tesisku. Cukup waktu
dua bulan untuk akhirnya aku menyelesaikan Tesis dan berujung dengan nilai A.
namun ketika aku akan menghadiri Yudisium, perutku mual.
“Sudahlah
dik, tidak perlu dipaksakan. Abang antar saja ke dokter ya, Yudisium kan hanya
seremonial,” ucapnya. Tapi aku tidak rela untuk melewati momen berharga itu,
salah satu kebanggaan mahasiswa adalah memakai toga kelulusan, kan?
Hanya
saja badanku memang benar-benar tak kuat untuk menghadiri acara itu. Bang Herman
lalu mengantarku ke dokter. Selesai diperiksa, sang dokter tersenyum kepada
kami.
“Selamat
ya, kalian akan menjadi orang tua” ucapnya jelas.
Aku
menatap bang Herman tak percaya. Segera aku merebut hasil tes itu dari dokter.
Bang Herman lalu memelukku. Pelukan yang selama ini aku nantikan, rasa sayang
yang tampak tulus dan ikhlas. Alhamdulillah ya Allah atas semua karunia-Mu. Kesalku
karena tak bisa ikut Yudisium terbayar oleh hal lain yang justru selama ini
menjadi jawaban doa untuk ketahanan keluarga kecil kami dari cemooh tetangga
dan keluarga.
Komentar
Posting Komentar