Keberangkatanku
ke Kota tinggal dua jam lagi. Palek
Qomar berjanji akan menjemputku dengan mobil miliknya. Jarak dari rumah ke
terminal menempuh perjalanan setengah jam saja. Aku sebenarnya lebih enak kalau
diantarkan pakai motor saja, mengingat hanya seorang diri. Akan tetapi, Palek Qomar kebetulan mendapat pesanan
untuk menjemput orang sakit yang diperbolehkan pulang. Mobil yang lebih mirip
mini bus tersebut memang disewakan untuk keperluan warga. Kebetulan,jadwal bus
yang akan aku tumpangi berdekatan dengan waktu yang diminta kepada Palek Qomar untuk menjemput. Jadilah aku
menemani Palek Qomar supaya tidak
mengendarai mobil sendirian.
Satu
per satu pakaian sudah ku masukkan ke dalam tas ransel. Tak lupa sarung,
tasbih, peci, dan sajadah. Ketika tas hampir penuh, menyusul makanan ringan
yang disiapkan Umi untuk bekal di perjalanan. Tak banyak barang yang ku bawa,
karena pakaianku pun tidak sebanyak orang-orang.
Abah
sejak pagi sudah pamit ke Ladang. Sehingga di rumah hanya tinggal Umi. Namun
dia tak berdiam diri, lebih sering ada di halaman belakang. Selesai memberi
makan bebek ternaknya, Umi memetic cabai yang sudah memerah. Lumayan untuk
kebutuhan dapur sendiri tidak sampai kekurangan. Ku perhatikan tadi, Umi
membawa sayur bayam yang dipetiknya juga di halaman belakang.
“Gimana
Sam, sudah masuk semua keperluanmu?” sapa Umi sambil membuka jendela rumah yang
masih tertutup.
“Insya
Allah sudah semuanya Umi. Memangnya barang Samsul banyak?” jawabku.
Umi
menoleh ke arahku. Ia tersenyum simpul. “Semoga kamu di Kota bisa mendapatkan
apa yang kamu mau ya,” ujarnya menatapku berbinar.
“Amiin.
Makasih Umi atas doanya,” sahutku.
Umi
lalu duduk di kursi tengah. “Rumah ini bakal sepi. Harusnya hal ini sudah Umi
persiapkan sejak lama. Bukankah semua anak yang beranjak dewasa berhak memilih
jalan hidupnya sendiri, Mbak mu telah memilih pergi dengan segala hal yang dia
mau. Umi pikir kamu betah di rumah ini,” Suara Umi tampak berat mengucapkannya.
Aku
tidak tahu ke mana arah pembicaraan Umi. Sulit aku memahami apa yang dia
rasakan sekarang. Sederhana yang aku tahu, ia berat melepasku. Sebenarnya wajar
bagi orang tua mana pun. Aku sendiri saja mendadak mulai mengamati seluruh isi
rumah. Hal yang selama ini terkesan biasa saja, menjadi menarik untuk dipandangi
lekat. Aku juga belum bisa membayangkan seperti apa anak-anak Kota. Apakah
mereka bisa menerimaku untuk menjadi teman mereka. Bicara soal teman, aku jadi
teringat Hadi. Kemarin sore ketika aku ke sana, dia sedang tak baik suasana
hatinya. Aku tahu, dia bisa jadi seperti Umi dan Abah. Tidak tahu cara
mengekspresikan rasa kehilangannya.
“Assalamualaikum…”
Palek Qomar akhirnya tiba di rumah.
Ia memakai celana jeans dan kaos bola kegemarannya.
“Waalaikum
Salam…” jawabku.
“Bagaimana,
sudah siap jadi anak Kota kamu Sam?”
Palek menyusap berkali-kali rambutku.
Palek
Qomar tampaknya melihat sambutan Umi yang biasa saja. Segera ia mendatanginya
yang sedang duduk di kursi.
“Mbakyu
ini kok lemas sekali. Anaknya mau jadi orang hebat, malah gak semangat,”
komentarnya melihat Umi yang tak memberi respon apa-apa.
“Samsul
itu anak satu-satunya, Mar. Apa aku ndak boleh berat meninggalkan dia, apalagi
dia yang selama ini membantu berkebun selama ini,” Umi berkata dengan tatapan
kosong.
Palek
Qomar langsung memeluk Umi. Dia tampaknya membisikkan sesuatu yang malah
membuat Umi tak bisa menahan tangis. Aku jadi menghampiri mereka, menghambur
dalam satu pelukan.
“Sudah,
kita kok malah jadi membuat Samsul beban dengan kebergiannya,” Umi
merenggangkan pelukan kami.
Tak
banyak bicara, Umi membelai rambutku berkali-kali. Lantas berjalan mengambil
ranselku yang masih di kamar. Aku segera mengambil alihnya dan membawa ke mobil
Palek Qomar. Aku melihat bagaimana
Umi berusaha mengulum senyum kepadaku. Maka untuk apa pun, aku tidak akan mengecewakan
pengorbanan Umi. Palek pun memintaku
untuk segera masuk ke Mobil. Ukuran yang besar, bisa muat delapan orang, kini
hanya ada aku dan Palek Qomar. Tas
ranselku pun tak terlalu besar.
Dalam
perjalanan, Palek Qomar mengajakku ngobrol banyak hal. Ada saja selalu komentar
mengenai sepanjang jalan, mulai dari supir truk yang kencing di pohon,
kakek-kakek yang membonceng rumput di sepeda melebihi tinggi badannya. Tak
luput juga pemandangan sepasang remaja yang bermesraan di bawah Pohon Asem.
Sesekali kami melintasi gerombolan bebek yang dihalau oleh pemiliknya.
“Sam,
kamu nanti di Kota bisa nonton Debat Capres dong,” Palek Qomar membawa obrolan kami ke politik.
“Ya
nontonlah Palek. Kan di rumah Mbak
Wahyuni pasti ada tivi, toh?” jawabku lugu.
“Semprul.
Maksudnya Palek, kamu bisa nonton
langsung ke lokasinya,” jelasnya.
“Enggaklah
Palek. Belum kenal Kota, ikut kata
Mbak saja,” balasku.
“Kamu
jagoin siapa, Sam?” kulik Palek.
“Jagoin
yang menanglah,” jawabku asal.
“Belum
pemilihan ya mana tahu siapa yang menang, kamu memang gak suka politik, toh?” kuliknya lagi.
“Suka
lah Palek. Kata Abah, kan kita harus
melek politik,” jawabku diplomatis.
“Jadi?”
“Jadi
apa?” Aku sengaja membuatnya emosi.
“Astaghfirullah,
bocah kenter. Palek’e dipermainkan,” balasnya.
“Nah
itu tahu. Aku kan masih bocah. Kenapa Palek
menganggap penting membahas politik ke aku? Memangnya ada pengaruhnya
pilihanku untuk Palek?” candaku.
“Jangan
salah, Sam. Justru kalianlah yang punya tanggungjawab besar serius memikirkan
politik. Jangan sampai pilihan kalian tidak didasarkan pada pemahaman yang
jelas tentang visi misi calon pemimpin untuk 10 atau 20 tahun ke depan. Kalian
akan besar di tahun-tahun itu,” Palek menjelaskan
cukup serius. Aku kali ini tak berani menjawabnya dengan bercanda.
Pernyataan
Palek ada benarnya. Aku memang tak
begitu paham mengenai politik yang sedang ramai di tivi. Apalagi aku dan
teman-teman sebaya selama ini jarang membahas mengenai politik. Kami berfikir
itu urusan orang dewasa. Abah juga tidak sering membicarakan ini di keluarga.
Beliau hanya memberi pandangan bahwa mencari pemimpin bisa dilihat bagaimana
dia dekat dengan rakyatnya. Hal yang ditekankan oleh Abah, pemimpin tidak boleh
ada jarak dengan ulama.
“Debat
Capres siap dimulai ya, Palek. Kira-kira bakal menarik gak ya?” tanyaku.
“Pasti
menarik, Palek menunggu Pak Prabowo dan Pak Sandi menyampaikan visi misinya,
Sam,” Palek tampak antusias.
“Jadi,
Palek mendukung Prabowo-Sandi ya?”
kulikku.
“Sam,
kita sekarang itu butuh pemimpin yang tegas, berwibawa, dan tidak sekadar
menebar janji,” jawabnya berapi-api.
Aku
tak melihat diri Palek sekarang.
Tampaknya dia lebih pas kalau jadi Tim Pemenangan Capres.
“Kenapa
kamu malah senyum-senyum sendiri,” Palek
menegurku. Astaga, pikiranku sudah ke mana-mana.
“Memangnya
Pak Jowoki tidak tegas, Palek?”
tanyaku lagi memancing pandangan Palek mengenai
dua pasangan yang sedang bertarung menuju RI 1.
“Jokowi
itu hanya jago pencitraan saja, Sam? Kamu tahu tidak pencitraan itu apa?” Palek meledekku.
“Memangnya
Palek tahu?” tanyaku balik.
“Suka
bohong,” jawabnya cepat.
“Oh…”
Aku tak mau mendebat soal itu. Apa yang paling pikirkan dan pahami mengenai
pencitraan tidak seperti makna yang seharusnya.
“Bukankah
sudah banyak prestasi yang Pak Jokowi hasilkan selama masa periode dia
memimpin? Misalnya, infrastruktur yang mulai mereta dan pengambilalihan Saham
freeport?” Aku coba mengulik lagi pendapat Palek.
“Kamu
paham apa soal begituan, Sam? Palekmu
ini Sarjana Ekonomi. Gak mudah dikasih bumbu-bumbu semacam itu. Memangnya infrastruktur
bisa membuat kita hidup kaya?” Palek semakin
menyudutkan Pak Jokowi.
“Kalau
mau kaya yang kerja, Palek.” Jawabku
ingin menyudahi perdebatan ini.
“Nah,
itu kamu pintar,” Palek tertawa.
Aku
pun ikut tertawa. Bukan tertawa karena obrolan kami lucu, aku malah tidak
pernah mendapat pandangan seperti ini di rumah. Umi dan Abah pun memilih Calon
pemimpin mengikuti anjuran Kiai. Kebetulan salah satu pasangan Capres telah
menggandeng Kiai. Sesederhana itu pilihan keluarga kami.
“Sam,
Palek membayangkan kalau Pak Prabowo
menang. Kita akan kembali makmur seperti jaman Soeharto. Swasembawa pangan,
harga-harga murah, dan hidup gak susah kayak…”
“Palek, awas!” teriakku.
Tabrakan
tak terhindarkan. Di depan, sebuah sepeda tergeletak dengan sayuran yang
berhamburan. Palek sudah berusaha mengerem mobilnya. Sayangnya, karena Palek sedang fokus membicarakan tentang
Prabowo, ia tidak memperhatikan sepeda yang tiba-tiba masuk dari pertigaan.
Segera
kami turun dari Mobil. Kerumunan warga pun tanpa diundang sudah mengerumuni
lokasi. Aku dan Palek berusaha
membantu seorang peremuan paruh baya mengadu kesakitan. Ia terus memegangi
kakinya yang tampak terkilir. Sedangkan salah seorang warga sudah membangunkan
sepeda ontel beserta isinya, walaupun sudah tak lengkap lagi.
“Mari
saya antarkan ke Puskesmas, Budhe!” Palek berusaha memapah perempuan
tersebut masuk mobilnya.
“Ndak
usah, Le. Ini hanya butuh dipijat saja. Maaf kalau saya tadi teledor,” ujar
perempuan tersebut menyadari kesalahannya.
“Saya
yang minta maaf, Budhe. Saya kurang
memperhatikan sekeliling,” Palek pun
dengan rendah hati mengakui keteledorannya. Ia lalu mengeluarkan beberapa
lembar uang untuk diberikan kepada perempuan tersebut.
“Ndak,
Le. Budhe yang…”
“Saya
akan tenang kalau Budhe mau
menerimanya. Lihat, dangangan budhe juga sudah rusak,” Palek tetap memaksa perempuan itu menerima uangnya.
Tampaknya
perempuan itu tidak enak hati untuk menolak lagi. Apalagi diperhatikan oleh
warga. Pasti lazimnya mobil yang menabrak memberikan uang santunan. Tidak butuh
waktu lama, urusan kecelakaan selesai. Palek
kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan mengantarku.
“Maaf
ya Sam, kamu telat gak?” Palek
melihat jam di tangannya.
“Santai
Palek, masih ada waktu,” balasku
mencoba menenangkan Palek yang tampak
masih gelisah.
“Jadi,
Prabowo tadi bagaimana Palek?” aku
iseng menggoda Palek.
“Ah
kamu, Sam. Nada pertanyaannya kok menyindir begitu?” Palek menatapku curiga. Aku pun tak tahan untuk tidak ketawa.
“Aku
kan sudah tahu kalau pilihan Palek itu Prabowo. Gak usah diperjelas lagi dengan
memuji-mujinya. Nanti di depan kita bisa menabrak janda loh..” candaku.
“Jadi
maksudmu tadi kita nabrak orang gara-gara ngomongin Prabowo?” Palek memicingkan
matanya.
“Bukan
aku yang bilang loh, itu Palek
sendiri,” Aku berkacak pinggang.
Kami
akhirnya sepakat untuk menyudahi obrolan tentang politik. Prabowo atau Jokowi,
kita pada akhirnya nanti akan segera memiliki pemimpin pilihan rakyat untuk 5
tahun ke depan. Buat apa kita terlalu bersitegang? Apalagi terminal sudah
dekat, petunjuk arah menjadi penanda bahwa hanya butuh beberapa ratus meter
lagi Palek mengantarku sampai tujuan.
“Hadi….”
Aku bergumam ketika melihat dari kaca spion sedang mengendarai motor di
belakangku. Benarkah itu dia?
Komentar
Posting Komentar